Notification

×

Indeks Berita

PETI Hanya Menguntungkan Pengusaha

Selasa, 12 April 2022 | April 12, 2022 WIB Last Updated 2022-05-22T11:34:21Z

Seorang warga tengah mencari emas dengan cara yang di Solok Selatan dikenal dengan nama Marobin. Ini lokasi tambang di Pamong Gadang yang sudah ditinggalkan para pencari emas. (f: afr)

“Sekarang mencari emas tidak beda dengan berjudi. Kalau nasib lagi baik bisa dapat. Tapi kalau tidak, sepekan bekerja
sabonci pun tidak naik. Untung-untungan.”

 

Begitu ucapan Arman (35), warga Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batanghari, Kabupaten Solok, yang semenjak setahun lalu meninggalkan pekerjaan sebagai pencari emas. Ia pernah manggarai (mendulang), mendompeng dan memodali alat berat di Pamong Gadang, Pamong Ketek dan Kimbahan. Ia memutuskan berhenti mencari emas usai kecelakaan kerja yang menewaskan 8 orang Mei 2021 lalu di Kimbahan karena belakangan hasil yang didapatkan tak sesuai harapan.

 

“Bekerja mencari emas itu tidak bisa dipastikan hasil. Nasib-nasiban. Kadang dapat, kadang tidak,” sebut Arman yang kini memilih mengolah kebun. Ia bertanam jagung, sayur-sayuran dan menakik karet milik keluarga. “Sekarang walau hasilnya kecil tapi pasti. Hidup zaman sekarang mesti ada kepastian.”

 

Namun tidak banyak yang berpikiran sama dengan Arman. Justru lebih banyak yang masih bertahan mencari emas. Bayangan akan mendapat bongkahan emas dalam jumlah besar seperti terus menggayuti kepala mereka. Godaan itu seperti menutup mata mereka untuk beralih mencari penghidupan lain.

 

Gindo (43) bahkan mau bertahan dalam hutan Bukit Kumani berpekan-pekan lamanya. Lokasi tambang emas yang mesti didatangi dengan jalan kaki selama 7 jam menyebabkan ia mesti bertahan di dalam hutan paling tidak selama sepekan. “Paling cepat keluar setelah sepekan berada di dalam. Banyak juga yang bertahan dua pekan atau sebulan baru keluar,” jelasnya.

 

Saat berjumpa di Muaro akhir Maret lalu, warga Sungai Kalu itu mengaku hanya mendapatkan dua bonci setelah sepekan manggarai di Sungai Anduriang. “Hanya dua bonci, dapat Rp140 ribu,” ujarnya usai menjual emas itu.

 

Bonji atau Bunjis adalah istilah yang lazim di kalangan pencari emas untuk satuan berat butiran-butiran kecil yang didapatnya dari mendulang. Satu bonci setara 10 garis timbangan khusus emas dengan harga Rp60 ribu hingga Rp75 ribu.

 

Pilihan yang sama juga dijalankan Ison (38). Ia masih bertahan maraboin di Pamong Gadang walau kawasan itu sudah ditinggalkan pencari emas. Bekerja dari pagi hingga siang ia menghabiskan 10 liter solar untuk mesin pompa air. “Bekerja dua hari ini sabonji belum ada didapatkan,” akunya seraya memperlihatkan botol kecil berisi air dan butiran emas.

 

Kenapa masih bertahan? Lagi-lagi warga Sungai Padi ini dibuai kemungkinan nasib baik akan berpihak kepadanya: mendapat butiran kuning itu. Terus bertahan menyemprot bekas galian mudah-mudahan mendapatkan.

 

Ison juga mengaku tidak punya pekerjaan lain yang menjadi alasan untuk meninggalkan kerja maraboin. “Hanya ada dua petak sawah. Musim kemarau sekarang sawah itu tidak bisa ditanami,” katanya. “Begitulah, terpaksa mencari emas ke sini.”  Siang itu hanya ia sendirian di Pamong Gadang yang setahun belakangan sepi. Hanya ada lubang-lubang yang berisi air dan onggokan batu dan pasir di kawasan sekitar 15 hektar itu.

 

Tukang ojek membawa minyak untuk alat berat yang bekerja pada lokasi tambang emas di Kimbahan, Kecamatan Sungai Batanghari. (f: afr)

Kilau emas tidak hanya terbayang dalam harapan warga Solok Selatan. Seperti Murni (45). Wanita ini jauh-jauh datang dari Sijunjung karena merasa kemungkinan akan mendapatkan emas. Murni tidak sendirian. Pengakuannya, ada puluhan warga Sijunjung yang mendulang di Kimbahan. Mereka menyewa di rumah-rumah pondok yang banyak di sana.

 

Tidak hanya dari Sijunjung, juga banyak warga Dharmasraya dan dari Jawa yang mengadu peruntungan di Kimbahan, Pinti Kayu, Lubuk Ulang Aling dan tempat penambangan emas lainnya. Warga Sijunjung dan Dharmasraya sebagian besar bekerja manggarai. Sementara yang dari Jawa bekerja pada pengusaha yang punya alat berat.

 

Serba Sepuluh Ribu

 

Bekerja di tambang emas dan tinggal dalam hutan bukannya berbiaya murah. Karena tersuruk dalam hutan dan sulit mencapainya, harga bahan kebutuhan harian di sana cukup mahal. Pun susah mendapatkannya.

 

Di Kimbahan harga minuman serba sepuluh ribu. Kopi hitam secangkir harganya Rp10 ribu, sama dengan harga sebotol air mineral ukuran 600 ml. Minuman botol seperti sprite, teh botol, coca-cola dan minuman botol sejenisnya pun Rp10 ribu juga. Harga rokok dua kali lipat dari harga biasanya.

 

Di Pinti Kayu harga-harga makanan dan minuman itu jauh lebih tinggi. Untuk membawa barang kebutuhan harian dan konsumsi dari Muaro ke lokasi tambang emas ongkosnya Rp15 ribu sekilo. Sebagian besar lokasi tambang emas di daerah ini mesti ditempuh dengan berjalan kaki, naik tempek (perahu bermotor) lalu berjalan lagi. “Tentu harga di sini jauh lebih tinggi. Besar ongkos angkutnya,” kata seorang pedagang.

 

Karena hasil yang didapatkan tidak pasti setiap harinya, berhutang dengan pedagang adalah hal yang lumrah. “Sudah biasa itu. Dibayar bila ada yang didapatkan. Kalau tidak mendapatkan emas dengan apa mereka bayar,” ujar Muhdi, seorang pedagang di Alai, Lubuk Ulang Aling Selatan.

 

Ia mengaku hutang pekerja itu bisa mencapai jutaan per orang. Dan ia percaya mereka tidak akan kabur meninggalkan hutang. Saling percaya saja, katanya.

 

Menyesiasati harga yang tinggi itu, para pencari emas yang lokasinya di tengah hutan, setiap kali turun selalu membawa perbekalan dalam jumlah yang mencukupi untuk kebutuhan hidup selama beberapa hari.

 

“Kalau semuanya dibeli di sini mana ada uang lagi,” ungkap Murni. Ia mengaku tiap pekan berbelanja ke Pasar Padang Aro.

 

Tidak hanya pendulang, pekerja yang tergabung dalam kelompok pengusaha dan operator alat berat juga mengandalkan pendapatan dari hasil emas yang didapatkan. Tak ada yang digaji. Pekerja mendapatkan bagian 5 persen dari emas yang didapatkan. Bila ada 5 atau 7 orang pekerja dalam satu kelompok maka 5 persen yang mereka bagi. Sementara operator alat berat juga mendapatkan bagian 5 persen.

 

Seorang warga yang bekerja sebagai pembawa minyak dan barang-barang kebutuhan ke lokasi tambang emas di Pinti Kayu. (f: afr)

Walau pendapatannya tak pasti, tetapi Sihombing (54), operator eskavator, belum punya rencana meninggalkan pekerjaannya di Lubuk Bingkuang. Pengakuannya sudah lebih setahun ia berada dalam hutan mengoperasikan alat berat.

 

“Keluarga aku di Pekanbaru,” jelasnya. Ditanya berapa yang diterima setiap bulannya, pria bertubuh gempal itu terkekeh. “Cukuplah untuk membiayai keluarga. Seorang anakku kuliah, dua lainnya masih SMA.”

 

Sebagian besar alat berat hanya dioperasikan seorang operator. “Kalau dulu satu alat itu dua atau tiga orang operatornya. Karena bekerja siang malam,” cerita seorang operator alat berat di Kimbahan. “Sekarang hasilnya sedikit, hanya aku sendirian.”

 

Sebagian lagi, mereka tidak meninggalkan pekerjaan sebagai pencari emas karena tidak punya pilihan lain. “Warga di sini makin susah hidupnya. Pekerjaan mencari emas tidak bisa diharapkan lagi hasilnya,” tutur Lukman, Walinagari Lubuk Ulang Aling Tengah yang sudah berkali-kali minta Dinas Pertanian memberikan pelatihan dan pembinaan untuk bertani dan berkebun untuk warga tiga kenagarian Lubuk Ulang Aling. Menurutnya, bertani dan berkebun adalah solusi.

 

Rawan Kecelakaan

 

Karena bekerja tanpa memiliki standar operasi yang memperhatikan keselamatan kerja, pekerjaan mencari emas yang dilakukan warga di Solok Selatan sangat rawan kecelakaan kerja.

 

Data yang dirangkum di Polres Solok Selatan dan Mapolda Sumbar, dua tahun terakhir tercatat 25 orang pekerja meninggal akibat kecelakaan kerja di lokasi tambang emas.

 

Pada 18 April 2020, sembilan orang orang pekerja yang tertimbun reruntuhan tambang emas di Nagari Ranah Pantai Cermin, Kecamatan Sangir Batanghari.

 

Pada 11 Januari 2021, empat orang meninggal akibat longsor lubang galian tambang  di Kimbahan, Kecamatan Sangir Batang Hari.

 

Pada 13 Januari 2021, empat orang penambang emas  tertimbun longsor di kawasan Jorong Kapalo Koto, Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batanghari.

 

Pada 10 Mei 2021, delapan penambang yang meninggal di lokasi tambang emas di kawasan Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari.

 

Jalan ke Kimbahan dan Talantam yang berlobang bagai rel untuk dilalui sepeda motor. (f: afr)

Diperkirakan jumlah yang meninggal jauh lebih banyak. Penuturan pencari emas di sejumlah lokasi, kecelakaan terekspos bila korban yang meninggal dalam jumlah yang banyak. Bila satu atau dua orang seringkali tidak diketahui aparat.

 

“Meninggal satu atau dua orang tidak akan sampai beritanya ke luar. Kalau pun tahu dibilang meninggal karena sakit,” kata seorang pekerja tambang emas di Pinti Kayu.

 

Pernyataan senada juga disampaikan pencari emas di Kimbahan. “Di sini meninggal satu atau dua orang biasa saja. Tidak ada yang ribut. Kalau banyak baru sampai infonya ke luar. Semua yang meninggal di sini mungkin sudah mencapai ratusan orang,” sebutnya.

 

Ditangani Pemerintah Pusat

 

Masih bertahan dan tidak ada tanda-tanda akan berhenti, sebabnya tentulah karena ada hasil yang didapatkan. Tambang-tambang emas ilegal di Solok Selatan masih menghasilkan meski jumlah terus berkurang dari tahun ke tahun.

 

Tetapi tidak mudah mendapatkan data berapa emas yang didapatkan pengusaha yang mengoperasikan alat berat. Pekerjanya tutup mulut dan tidak mau menyebutkan siapa pengusaha di belakang mereka. Mereka pun enggan berbicara tentang hasil.

 

“Tidak perlu bertanya pada pengusahanya. Bila ada yang mendapatkan emas dalam jumlah yang banyak semua yang ada di dalam ini pasti tahu. Ketahuan dari para pekerjanya. Mereka akan bayar semua hutang dan lagak mereka pun akan beda,” tutur seorang pedagang makanan dan minuman di Kimbahan.

 

Diungkapkan pedagang itu, setahun belakangan tidak ada yang mendapatkan emas dalam jumlah kiloan setiap kali selesai pencucian. “Hanya dalam gram hitungannya, tidak ada yang sampai kiloan,” ungkapnya.

 

Seorang pedagang emas tak jauh dari Pasar Padang Aro pun mengaku tidak pernah lagi membeli emas dalam jumlah yang banyak dari pada pencari emas. “Sebagian besar dijual ke kita,” katanya. Kedai pedagang ini berada di jalan masuk ke Kilo Duobaleh, Sungai Pahik, Simabuo dan Lubuk Bingkuang.

 

Pengakuan yang sama juga diucapkan seorang pedagang emas di Muaro, Pinti Kayu. “Hanya dalam berat gram bagi manggarai. Tapi kalau pengusaha mendapatkan banyak tentu tidak di sini dijualnya."

 

Tidak maksimalnya hasil yang didapatkan, menurut pengakuan sejumlah penambang, karena tambang yang mereka garap umumnya adalah tambang lama. Tambang yang sudah ada semenjak zaman Belanda.

 

Menggarap tambang lama tidak beresiko karena sudah terbukti ada emasnya.  “Itu sebabnya tidak banyak lokasi baru yang dibuka. Sebab belum tahu ada emasnya atau tidak. Kalau tambang lama sudah pasti ada. Banyak atau sedikitnya yang belum tahu,” kata Arman.

 

Mencari emas sepertinya tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan warga Solok Selatan. Mencari emas itu sudah mereka lakoni semenjak Belanda menjajah negeri ini. Dalam surat kabar Belanda yang bernama Bataviaasch Nieuwsblad terbitan 26 Mei 1886, ada berita mengenai tambang emas di  Solok Selatan. Diberitakan saat itu ada sekitar 1.200 titik tambang emas yang dikelola pemerintah Belanda.

 

Pada saat usaha dan izin pertambangan masih dikelola daerah tahun 2013, tercatat ada 36 perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Solok Selata. Dari 36 perusahaan itu, sebanyak 10 perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan emas. Menurut informasi Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Barat (2013) pertambangan emas yang ada di Solok Selatan saat itu mampu menghasilkan 50 kg emas sehari.

 

Walau Pemkab Solok Selatan tidak punya data berapa orang yang terlibat sebagai pekerja di puluhan tambang emas ilegal itu, namun diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan orang. Pada satu lokasi, setidaknya ada 50 orang hingga 150 orang yang bekerja.

 

Di Sumatera Barat, emas tidak hanya ada di Solok Selatan. Tetapi juga ada di Pasaman, Limapuluh Kota, Sijunjung, Dharmasraya, Pesisir Selatan dan Kabupaten Solok. Paling tidak, hal itu diketahui dengan adanya penambangan emas yang dilakukan warga secara tradisional semenjak berpuluh tahun lalu. Hanya saja, berapa potensi emas yang ada dalam perut bumi Ranah Minang ini, tidak ada data pasti.

 

“Belum ada penelitian secara khusus. Hanya hasil analisa geologis yang tidak menyebutkan jumlahnya,” ujar Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral Sumbar, Ir H Herry Martinus menjawab padanginfo.com.

 

Ditanya bagaimana perhatian Pemprov Sumbar mengenai tambang emas itu, Herry pun tidak bisa berbicara banyak karena kewenangan mengenai pertambangan berada di tangan pemeritah pusat. “Semenjak tahun 2020 sudah ditangani pemerintah pusat,” sebutnya.

 

Salah satu tambang emas ilegal yang rawan kecelakaan kerja. (f: afr)

Undang-undang Minerba diundangkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020 lalu. Dalam Pasal 35 (1) UU minerba baru itu, disebutkan bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

 

Namun pada Pasal 35 (4) dinyatakan bahwa pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan berusaha kepada pemerintah daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

 

Menurut Ketua Walhi Sumbar, Wengki Purwanto, keberadaan  pertambangan tanpa izin (PETI), dalam hal ini pertambangan emas, tidak menguntungkan masyarakat lokal yang menjadi pekerja tambang. Melainkan pihak di baliknya yang memiliki modal besar atau penguasa.

 

"Begitu terjadi pengungkapan tambang emas ilegal, pihak yang membela seolah-olah mempertahankan keberadaan tambang emas sebagai sumber penghidupan masyarakat. Tetapi yang lebih diuntungkan sebenarnya adalah pemodal besar," sebutnya.


"Dan kalau tidak menguntungkan mana mau pemodal mengeluarkan uang," tambah Abdul Aziz. (Afrimen MN)

 

Laporan ini diproduksi atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) yang bekerja sama dengan Pulitzer Center.

 

 

 

Tag Terpopuler

×
Berita Terbaru Update