Notification

×

Indeks Berita

Willy dan Politik Emansipasi Sarinah

Selasa, 31 Januari 2023 | Januari 31, 2023 WIB Last Updated 2023-01-31T02:47:45Z

 


Willy Aditya, Ketua Panjan Perlindungan PRT. Foto.ist



Catatan AGUS HERNAWAN 

(Sastrawan dan Penulis)


PEREMPUAN adalah inti keluarga, nyawa masyarakat dan negara. Ini diyakini Bung Karno. Disampaikannya dalam kurpol (kursus politik) untuk perempuan-perempuan di Yogya. Diktat kurpol itu dikumpulkan Mualif Nasution. Diterbitkan dengan judul Sarinah, Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia.


Siapakah Sarinah? Namanya tak cuma jadi judul buku. Gedung pencakar langit pertama di Indonesia, berada di jalan M.H Tambrin,  dinamai Bung Karno Sarinah. Di buku Cindy Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, kita menemu kisah Mojokerto dan masa kecil Soekarno. Di situ ada cerita tentang Sarinah, pembantu rumah tangga (PRT) di keluarga Raden Soekemi Sosrodihardjo-Ida Ayu Nyoman.


Sarinah, perempuan dusun, tanpa pendidikan formal. Ia bagian dari jutaan kaum jelata yang dipariakan dalam struktur kolonial-feodal Hindia Belanda. Sarinah yang jelata itu adalah Sarinah yang memiliki ketinggian budi. Sebab itu, barangkali, mengapa Bung Karno menamai gedung tertinggi pertama di Republik ini dengan Sarinah.


Republik ini adalah tribune of the people. Dan, Sarinah menjadi metafor Republik. Historiografi yang dimulai dari kisah kaum jelata dari dapur sempit berlantai tanah. Dari sebuah omah gedhek di Jalan Gajah Mada, Mojokerto. “Sarinah mengajarkanku untuk mencintai rakyat. Massa rakyat, rakyat jelata,” ujar Bung Karno. 


“Karno, pertama kali engkau harus mencintai ibumu akan tetapi kemudian kau harus mencintai pula rakyat jelata engkau harus mencintai manusia umumnya”. Nasihat Sarinah ini membentuk karakter Soekarno sebagai manusia, juga sebagai pemimpin.


Sarinah yang Dilupa


Soekarno sudah menunaikan janjinya pada Sarinah. Tapi, belum dengan Indonesia. Di usia lebih setengah abad kemerdekaan, Indonesia hari ini tidak berbeda dari masa ketika seorang penyair Perancis turun dari Kapal Print van Oranje di Batavia. Penyair itu melihat perempuan-perempuan diperdagangan. Harganya kisaran f40 atau dua ratus rupiah. Hari ini, Indonesia tetaplah sama: tanah asal, negara transit, dan sekaligus tujuan perdagangan manusia (human trafficking).


Ratusan ribu perempuan, data UNICEF menyebut 30 persen adalah perempuan di bawah umur 18 tahun, diperdagangkan. Perempuan-perempuan kita dikirim ke Malaysia, Singapore,  Brunei, Taiwan, Japan, Hongkong, dan negara-negara di kawasan Timur Tengah. Mereka bekerja di sektor domestik sebagai pembantu rumah tangga (PRT).


Tanpa ada payung hukum yang melindungi, di dunia patriarki yang busuk, mayoritas mereka menjadi undocumented people. Kisah perempuan yang diperdagangkan, di mana-mana sama, selalu berakhir dalam dunia prostitusi. Jumlah 4 juta korban perdagangan manusia—yang tercatat saja—jelas melampaui jumlah korban perang di belahan bumi mana pun.


Negara alpa. Kita lupa. Di dua dekade lebih Reformasi, para Sarinah tetap tak dianggap. RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) belasan tahun macet di Senayan. Tak ada yang mengingat Sarinah selain nama Mall di Menteng itu. Sarinah yang direnovasi, bukan Sarinah yang diemansipasi.



Willy Aditya, Ketua Panja RUU Perlindungan PRT



Slavoj Zizek, dalam The Sublime Object of Ideologi (1989), meringkas pengertian ideologi. Buat Zizek, ideologi bukan sekelimut gagasan rumit. Ideologi hidup tidak dalam ruang sunyi, tapi  mewujud sebagai aksi dan tindakan kita. Ideologi adalah bagaimana cara kita melihat dunia, bagaimana kita berpikir, bertindak, dan mengubahnya.


Pada titik ini, di bawah bayang-bayang perang Eropa yang panjang—yang sudah juga menciptakan gelombang human trafficking, saya memaknai seorang Willy Aditya seperti ditulis Zizek. Willy di trajektori jalan ideologi. Berjuang. Bertarung di Senayan.


Willy memberi makna pada apa yang kita alpa: Sarinah! Jutaan Sarinah yang tak pernah didefinisikan sebagai pekerja. Diikat dalam struktur feodal sebagai “pembantu” dengan jam kerja nyaris tanpa batas. Tak ada UMR, tak pesangon, tak ada jaminan kesehatan, dan pensiun. Tak ada perlindungan negara pada mereka yang membuat mereka rentan dinistakan.


Saat Soekarno dikemas sebatas asesoris politik. Willy menghidupkan Soekarno dalam gelanggang pertarungan politik. Ia berteriak soal Sarinah. Ia berkelahi untuk Sarinah. Ia menuntut negara hadir. Sekian lama menjadi aktivis jalanan mengajarkannya bagaimana cara bertarung yang terhormat.


Willy mengambil inisiatif memajukan kembali RUU Perlindungan PRT ke Rapar Badan Musawarah DPR. Sebagai ketua panja RUU Perlindungan PRT, ia menggedor meja Pimpinan Dewan. Selesai? Tidak! Willy dirundungi. Dicemooh, bahkan diancam secara fisik. 


Hampir satu abad kaum muda republik menjebol keangkuhan feodal. Satu abad Ikrar Pemuda yang menandai era bangsawan pikir, sinisme feodal memandang PRT sebatas babu justru abadi. Para elit Wakil Rakyat tetap dalam keangkuhan, juga kecemasan: “Wah, RUU ini PRT kita bisa memenjarakan kita!


“Jas Merah, Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah! Pesan ini disampaikan Bung Karno di pidato penghabisan, 17 Agustus 1966, setahun sebelum dilucuti. Pesan ini terus diresonansi, tapi substansinya diabaikan. RUU Perlindungan PRT adalah soal emansipasi. Willy melantangkan suaranya untuk itu. Mengangkat derajat para Sarinah dari dianggap sebatas babu menjadi pekerja. “Negara harus hadir dan melindungi hak-hak mereka. Bukan saja untuk mereka di dalam negeri, tapi juga untuk mereka yang bekerja di luar negara,” tegas Willy Aditya.


Betapa kultur dan orientasi kekuasaan politik kita masih hidup dalam perspektif kepentingan elit. Regulasi yang memihak kepentingan rakyat jelata sesuatu yang langka. RUU Perlindungan PRT misalnya, sejak pertama diusulkan tahun 2004, hampir 19 tahun hanya jadi arsip berdebu dalam laci kekuasaan yang congkak. Kita bersyukur, di pekan kemarin, tanggal 18 Januari, Presiden Joko Widodo membawa kabar baik. 


Presiden menyampaikan, bahwa Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sudah masuk dalam daftar RUU prioritas 2023. “Untuk mempercepat penetapan Undang-Undang PPRT ini, saya perintahkan kepada Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Ketenagakerjaan untuk segera melakukan koordinasi dan konsultasi dengan DPR dan dengan semua stakeholder,” kata Jokowi.  


Politik Emansipasi


“Hari ini saya seperti Dejavu”, ujar Willy menyambut kabar baik yang datang dari Istana. Willy tak akan lagi mengingat saat di-bully, dicemooh, dan ditolak Pimpinan Dewan. “Politik kita untuk manusiakan manusia, untuk menaikkan peradaban kita. Ini alasan kita berpolitik. Ini tujuan kita masuk dalam kekuasaan,” tegas Willy. 


Politik emansipasi adalah gairah pada perubahan. Ia seperti sinar matahari yang tak pernah habis. Gairah yang telah menjadi ritme dan “folklore” yang melahirkan kisah para pejuang di setiap tanah dengan jejak sepatu kolonialisme. Di dalam kultur dan orientasi kekuasaan yang nonsens,  Willy sepersis lirik lagu Iwan Fals—judulnya juga Willy, “Si anjing liar dari Jogjakarta… yang keras hantam cadas”. 


Teruslah bersuara lantang, Bung. Suara yang juga dipekikan Luiz Inácio “Lula” da Silva di Brasil, Lucio Gutiérrez di Ekuador, Néstor Kirchner di Argentina, Tabaré Vázquez di Uruguay, Evo Morales di Bolivia, Rafael Correa di Ekuador, dan Daniel Ortega di Nikaragua. Suara yang juga menggema saat massa menduduki Puerta del Sol Square di Madrid,  Tahrir Square di Mesir, dan Zuccotti Park, New York. 


Suara yang meneriakkan emansipasi. Karena pada suara itulah politik membangun virtualitas. Menjadi nafas dan jiwa Republik, tempat orang-orang mendirikan sheltering hope, tempat semua kita saling berbagi harapan dan tempat demokrasi tak pernah kehilangan horison dan pelangi. (**)

Tag Terpopuler

×
Berita Terbaru Update