 |
| Foto. Republika Online |
Oleh: Abimanyu Widodo
(Penggiat literasi tinggal di Yogya)
Tulisan Denny Indrayana, berjudul Bagaimana Jokowi Mendukung Ganjar, Mencadangkan Prabowo, dan Menolak Anies menarik dibaca sebagai kritik hukum kepada Joko Widodo, Presiden RI saat ini. Kehadiran Joko Widodo dalam penetapan capres PDI Perjuangan di Batu Tulis, Bogor jelas cacat secara demokrasi. Kehadiran itu jelas bermakna partisan. Joko Widodo, di Batu Tulis itu, disebutkan hadir dalam kapastitas sebagai Presiden RI. Joko Widodo sedang menggali liang kuburnya sendiri. Ia sedang berjudi dengan kecemasannya sendiri.
Jelas, di 2024, kita tidak akan bertemu dengan Pilres yang jujur dan adil. Selamat tinggal demokrasi. Darah pejuang 98 belum hapus dari ingatan. Mereka yang hilang belum jelas, jika mati di mana kubur. Hari ini, demokrasi telah ikut dibunuh. Penguasa yang tercekik oleh bulu ketiak oligarki memilih jalan membunuh demokrasi untuk menyelamatkan kekuasaan anak-menantu, mengamankan kepentingan bisnis nikel, dan memuluskan proyek Tiongkok untuk menguasai Asia.
Bagaimana dengan Anies, apakah Anies akan patah di tengah jalan? Anies bukanlah siapa-siapa. Anies adalah bagian dari doa-doa rakyat negeri ini yang merindukan keadilan. Ia adalah bagian dari harapan kita pada hari esok yang lebih baik, lebih berkeadilan untuk semua warga bangsa. Adakah kekuatan yang bisa menghalangi doa dan harapan banyak orang?
Di Pilgub DKI 2017, terbukti bagaimana doa dan harapan memiliki pemimpin yang beradab dan memanusiakan jadi gelombong kekuatan politik. Itu pun akan terjadi nanti. Karena memenangkan Anies bukanlah memenangkan seorang yang bernama Anies Rasyid Baswedan. Tapi memenangkan doa dan harapan semua kita. Memenangkan doa dan harapan para leluhur pendiri bangsa, juga doa dan harapan generasi masa depan negeri ini.
Ini tugas sejarah. Ambil dan menangkan. Ibu Pertiwi sudah memanggil. (**)
