padanginfo.com-PADANG- “Di Bawah
Kuasa Naga” adalah pameran fotografi dan seni rupa yang akan digelar pada 25-28 April 2024 di
Galeri Taman Budaya Sumatera Barat. Foto-foto dokumenter hasil perjalanan Fatris MF ke Pulau Komodo menampilkan
keseharian masyarakat di dalam Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur yang tengah digadang-gadang
sebagai destinasi wisata premium namun berimplikasi pada suhu politik yang memanas.
“Di Bawah Kuasa Naga merupakan pameran tentang kehidupan
orang-orang di wilayah Taman Nasional Komodo yang mengalami penggusuran demi perlindungan komodo, naga
terakhir yang hidup di bumi,” ujar kurator pameran “Di Bawah Kuasa Naga” Uyung
Hamdani (21/04).
Bagi Uyung, memilih
Padang sebagai tempat pameran foto yang diambil fotografer Fatris MF di Pulau
Komodo punya beberapa alasan. Pertama, mendorong minat fotografer muda Sumatra
Barat (Sumbar) untuk mendalami foto dokumenter seperti yang dikerjakan Fatris
MF. Kedua, apa yang menjadi persoalan di Pulau Komodo juga terjadi di wilayah
Sumbar.
“Di antaranya
isu kebudayaan yang lambat laun cuma jadi simbol semata, karena percepatan
pembangunan pariwisata oleh pemerintah hari ini tidak memberi ruang bagi masyarakatnya
sendiri,” papar Uyung.
Pameran
foto ini, lanjut Uyung, diharapkan mampu memicu kesadaran lebih bahwa tiap-tiap
kebijakan akan punya konsekuensi terhadap warga dan ruang hidupnya.
Pola Non-Konvensional
dalam Berpameran
“Di Bawah Kuasa Naga” merupakan bentuk
penawaran pola non-konvensional dalam berpameran di Sumbar. Foto-foto jepretan
Fatris akan disusun berdasarkan cerita yang ditulisnya sendiri dalam buku
terbarunya. Beberapa foto akan digabung atau dijajar secara berdekatan dan
beberapa foto lainnya akan berdiri sendiri, tetapi tidak lepas dari kesatuan
cerita “Di Bawah Kuasa Naga”.
Foto-foto yang
dipajang akan diterjemahkan
oleh perupa Ariq Alhani
dengan pendekatan artistik,
yakni lukisan dinding atau mural.
“Dalam perkembangannya fotografi ternyata tidak
lagi semata milik juru foto. Bagi seniman seperti Ariq, foto menjadi medium
seni rupa. Proses antara juru foto menghasilkan foto dan foto yang dijadikan
medium seni rupa ini punya pendekatan yang berbeda walaupun dengan pembacaan
isu yang sama,” jelas Uyung.
Menurut Uyung, perbedaan lintas ilmu ini
menjadi kekuatan tersendiri saat digabungkan dalam pameran. Di satu sisi akan
ada foto yang dipajang khas pameran foto, sisi lainnya adalah seni rupa yang
berbahan dasar sebuah foto.
“Foto-foto Fatris MF akan direspon dengan mural
dan instalasi dari Ariq Alhani. Ariq bertugas untuk memperkuat pesan yang ingin
disampaikan Fatris melalui foto dengan sentuhan-sentuhan visual,” sambung
Uyung.
Selain
fotografer, Fatris MF diketahui penggemar filologi dan sastra lisan yang
kerap melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia. Ia juga menulis
catatan perjalanan yang berfokus pada sejarah, isu lingkungan, pergeseran
budaya dan pergesekannya dengan modrenisasi. Enam buku yang telah dihasilkannya
antara lain Merobek Sumatera (2015), Kabar dari Timur (2018), Lara Tawa
Nusantara (2019), Hikayat Sumatra (2021), The Banda Journal (2021),
Indonesia Dari Pinggir (2023). Selain itu, ia juga meriset dan menjadi jurnalis
lepas di beberapa media seperti DestinAsian Indonesia, National
Geographic, dan koran Tempo.
Sedangkan Ariq Al Hani, seorang seniman illustrator dan graphic gesigner lepas yang aktif berkolaborasi
dengan seniman di kota Padang.
Ia tertarik dengan artwork,
street art, dan manajemen pameran
(inisiator Exhibition Kolektif “Hey Youth”). Beberapa karya kolaborasi dengan
musisi berupa cover album dan merchandise band seperti The Secret, Cerberus,
DivineCult, The Brotherman Blues, Paulphobia, Rules Eighteen, Flamed Chalice.
Ia juga merupakan founder dari 3 brand busana Galanthus Nivalis,
Socialdistress dan Nanaka Magic.
The Land
of Dragon: Sebuah Ironi Atas Nama Pembangunan, Konservasi dan Pariwisata
Selain
pameran foto, akan digelar screening film dokumenter, launching dan diskusi
buku karya Fatris MF yang berjudul “Di Bawah Kuasa Naga. The Land of Dragon”.
Film dan buku ini merupakan catatan dari perjalanan Fatris MF ke Labuan Bajao,
Nusa Tenggara Timur, dan secara khusus memotret Taman Nasional Komodo, sebuah
tempat yang berjarak lebih dari 3000 kilometer dari Sumatra Barat pada tahun
2020.
Fatris
merekam ingatan kolektif masyarakat suku Komodo atau Ata Modo tentang bagaimana
hubungan mereka dengan saudara komodo-nya yang diberi nama “sebae”, makhluk
yang sering disebut peneliti Eropa sebagai naga terakhir di muka bumi. Sebae yang
disyairkan mereka dalam dendang dan cerita legenda masyarakat suku Ata Modo sebagai
saudara manusia.
Soal ironi
pembangunan restoran, swalayan, dan hotel megah di Labuan Bajo yang dibeli oleh
orang luar sana, kapal-kapal wisata mewah yang mampir dan dibukanya lapangan
kerja baru dari aktivitas tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan
kesejahteraan masyarakat di sana. Resort sangat mewah bisa berdiri, sedangkan
kampung di Pulau Komodo dengan populasi 1700 jiwa memiliki masing-masing hanya satu
puskesmas, SD dan SMP.
Nyatanya
masyarakat suku Ata Modo tetap hidup dalam kemiskinan. Mereka, bahkan semakin
miskin karena yang tinggal di kawasan Taman Nasional “Komodo” dilarang berburu
rusa, mengambil hasil hutan lainnya, dan menangkap ikan dengan pukat. Perlahan
mata pencaharian mereka menghilang.
Hal
terburuk, mereka yang menetap di Pulau Komodo terancam untuk disingkirkan atas
nama konservasi. UNESCO mencap kawasan ini sebagai cagar biosfer dunia di tahun
1977 dan Sail Komodo pada tahun 2013. Konservasi celakanya hanya menjadi isu
yang meminggirkan kemanusiaan.
Fatris
memotret dengan intens keadaan masyarakat di kawasan Taman Nasional Komodo
ketika COVID-19 melanda. Mata pencaharian awal masyarakat hilang berganti dengan
menggantungkan hidup kepada turis-turis yang melancong. COVID-19 membuat
kondisi ekonomi masyarakat makin hancur porak-poranda. Barang-barang mereka
tergadai untuk menyambung hidup.
Khusus
film, Fatris menggarapnya bersama Dhika Rizki Sandy, salah seorang sineas asal
Sumatra Barat. Dhika adalah seorang sutradara, produser dan penulis skenario di
Indonesia. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan studinya di Fakultas Film dan
Televisi, Institut Kesenian Jakarta, dengan penjuruan penyutradaraan film. Selama
studinya, Dhika menghasilkan beberapa film pendek, diantaranya; A Gift (2019),
Lautan Lara (2020), Lanita (2021), Rasa (2022) dan A Star Is Fucking Born
(2023) sebagai film pendek terakhirnya yang masih tayang di beberapa festival
film lokal dan internasional.
Pameran
fotografi, art, pemutaran film dan peluncuran buku di “Di Bawah Kuasa Naga”
akan berlangsung selama 4 hari. Selain itu ada penampilan musik dari Echoflow
dan Calon Pemusik Negeri Sipil, serta penampilan spesial dongeng bersama Obe Jo
Gogo. Kegiatan ini didukung oleh UPTD Taman Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi
Sumatera Barat, Gapz!, Komunitas Seni Nan Tumpah, Sarga, Steva, Clera Studio,
Pelita Padang, Rumah Ada Seni, Info Sumbar, Minang Lipp, Ota Lapau dan We The
Syne.(*/ak)