Notification

×

Indeks Berita

Gonjang-ganjing Ganjar

Kamis, 12 Januari 2023 | Januari 12, 2023 WIB Last Updated 2023-01-12T09:49:44Z

 


                                         Sumber Foto. Disway.id


Oleh AGUS HERNAWAN (Sastrawan)

MEGAWATI tetaplah menjadi mata air Reformasi. Di perayaan HUT ke-50 PDI Perjuangan kemarin, sembari mengenang Soekarno di masa lalu, Megawati menegur Jokowi. “Kalau sudah dua kali, ya maaf, ya dua!” Mega tidak sarkas, tapi sedang membuat kontras. Seorang ibu yang sedang mengingatkan kita.


Jangan khianati darah juangmu sendiri. Setia tegak luruslah dengan Konstitusi. Bukan, seperti ditulis pada spanduk besar di acara Relawan Nusantara: “Setia Tegak Lurus Bersama Jokowi”. Acara relawan Jokowi di GBK itu—yang menyisakan 31 ton sampah, akan diingat sebagai bagian dari drama kolosal tentang Ganjar. Satu drama politik.


Tapi, Ganjar bukan drama politik biasa. Ganjar adalah drama tentang sang pewaris tahta. Ini tentu menarik. Sepanjang sejarah sejak Republik berdiri, belum pernah seorang presiden secara terbuka bertitah tentang penggantinya. Baru kali ini terjadi di era Jokowi berkuasa.


Acara di GBK, 26 November 2022 itu, jadi Sabda Agung Jokowi di hadapan 150 ribu relawan dan para pendukungnya. “…Pilih pemimpin yang mengerti apa yang dirasakan rakyat, pilih nanti di 2024 pilih yang ngerti apa yang dirasakan oleh rakyat, setuju? Perlu saya sampaikan, perlu saya sampaikan. Pemimpin yang mikirin rakyat itu kelihatan. Dari mukanya itu keliatan, dari penampilannya itu kelihatan. Banyak kerutan di wajahnya karena mikirin rakyat. Ada juga yang mikirin rakyat sampai rambutnya putih semua, ada itu. Kalau wajahnya cling, bersih, tidak ada kerutan di wajahnya, hati-hati. Lihat juga, lihat rambutnya. Kalau rambutnya putih semua itu mikirin rakyat itu.”


Lugas dan referensial. “Rambut putih” disebut sampai dua kali. Lagu berjudul ‘Bersama Rambut Putih’ pun digubah dan dinyanyikan. Dedikasi untuk Ganjar, kata para relawan.


Political Endorsement


Political endorsement, di sini kesalahan yang dilakukan relawan Nusantara Bersatu di GBK itu. Ini juga barangkali yang meradangkan Tengku Umar.  Acara di GBK merusak citraan Jokowi. Elit-elit relawan membuat Jokowi turun “kasta”. Seorang presiden, pemimpin semua kita, dibuat jadi endorser. Jadi tukang bakul politik demi Ganjar. 


Drama Ganjar pun jadi antiklimaks. Acara di GBK itu membuat Ganjar tak berpasak. Bukan Wukir Mahendra Giri, pecahan Meru yang Agung. Ganjar tak ubahnya barang dagangan yang butuh di-endorse supaya laku.  Seolah, tanpa endorse Jokowi, perkataan Trimedya Panjaitan, juga para aktivis Kendeng dan Wadas, benar. Ganjar sosok yang wanprestasi. Ganjar nirkeberpihakan pada rakyat.  


Venezia la Xe nostra; l’avemo fatta nu, ‘Venice milik kita, kita yang membuatnya,’ teriak Joseph Mazzini, republiken yang membawa nilai-nilai demokrasi kerakyatan dalam Risorgimento Italia. Dari Mazzini kita belajar bahwa, republik adalah epik publik. Lahir dari heroisme orang banyak.


Dalam Republik, kekuasaan bukanlah harta warisan. Karena itu, seorang pemimpin tidak dilahirkan oleh titah penguasa. Ia tidak lahir dari epik  istanasentris yang hendak jadi juru atur sejarah.


Mencari Pemimpin bukan Pelanjut


Sekian banyak pukulan, tak terhingga hinaan, jalan lahir para pemimpin. Soekarno, Hatta, dan semua pemimpin republik pernah menapaki jalan-jalan yang membuat kaki mereka berdarah. Mengalami tahun-tahun pembuangan. Foto Mandela menatap dari balik jeruji penjara sangat memorabilia. 


Megawati juga berada pada alur yang sama. Pidato Mega di Niti Praja Lumintang, saat Bali digulung amuk Oktober 1999, menggambarkan kualitas kepemimpinannya. Pidato itu membawa PDIP memenangkan kekuasaan dan juga memenangkan sejarah.


Jokowi pun merangkak dari bawah. Menapaki tahun-tahun yang tidak mudah untuk sampai ke Medan Merdeka Utara. Bertarung dan menjadi pertarung. Mengambil jalan grass root democracy untuk memenangkan hegemoni (the effort to win the allegiance of the people). 


Apa yang membedakan antara para pemimpin itu dengan Ganjar? Mereka digojlok, ditempa, diasah—bukan diasuh—untuk menjadi pemimpin. Ganjar di-setting untuk jadi pelanjut. Dan rakyat, dan Republik ini, tentu menghendaki pemimpin. Bukan cuma pelanjut.(**)

Tag Terpopuler

×
Berita Terbaru Update