Notification

×

Indeks Berita

In Memorium: Mendengar Cerita Pak Bakar Effendi

Selasa, 30 Maret 2021 | Maret 30, 2021 WIB Last Updated 2021-03-30T08:00:27Z

Foto terakhir penulis dan alm. Bakar Effendi, 1 Maret 2021 di ruang kerjanya.

Oleh: Indra Sakti Nauli / Wartawan padanginfo.com

Drs. H. Bakar Effendi. Saya lebih awal mengenal nama dan jabatan daripada orangnya. Lelaki bertubuh kecil, wajah mirip India. Tapi bukan keturunan India.  Saya menjadi lebih dekat setelah sama-sama mengurus  sekolah Adabiah. . Saya memanggilnya Pak Bakar.

“Ambo lahia katiko umua apak ampek puluah tahun,” sebut saya suatu kali.

“Alah jadi camat ambo tumah,” balas Pak Bakar.

Itulah awal-awal perkenalan saya. Pamong senior kelahiran Sasak, Pasaman Barat, 24 April 1924. 

Sejak tahun 2003,   di Yayasan Syarikat Oesaha Adabiah, Pak Bakar sebagai anggota  Pembina, Saya Menjabat Kabid Hukum, Humas dan Hubungan Antar Lembaga.

Pak Bakar tidak alumni Perguruan Adabiah. Saya alumni sejak SD, SMP dan SMA Adabiah. Tapi kecintaan Pak Bakar dengan Adabiah luar biasa. Pak Bakar ikut merintis berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA)  Adabiah, tahun 1984 dan menjadi Ketua STIA yang pertama.

Setiap hari Senin dan Kamis, kalau kesehatannya prima, Pak Bakar selalu ngantor ke Adabiah. Biasanya, setelah menaruh tas kulit tentengannya di ruang kerja Pembina , Pak Bakar masuk ruangan saya. Duduk di kursi depan meja kerja saya.

“Apo carito kini ko…?” 

“Carito bagalau..” jawab saya tersenyum. Lalu, saya pergi ke ruangan lain. Mengambil tiga koran langganan: Haluan, Singgalang, Padang Ekspres dan menyerahkan ke Pak Bakar. 

Dari ruangan saya, Pak Bakar membawa ketiga koran ke ruangannya.

“Ambo baok koran ko dulu…”

Belakangan, sejak berjalan memakai tongkat, Pak Bakar tak lagi bertandang ke ruangan saya. Biasanya, kalau sudah duduk di ruangan Pembina, saya    mengantarkan koran ke ruang Pak Bakar.  

Sejak sering berkomunikasi, saya merasa dekat dengan Pak Bakar. Saya menyebut beberapa nama keluarga saya yang saya yakini Pak Bakar kenal. Saya ,menyebut nama Mairunding Panggabean, adik bungsu ayah saya. . Saya sebut pula nama Moedirsan Lubis (alm), orang Sinurut yang sudah seperti orang tua saya sendiri.

“Ambo anak Pak Moedirsan, Pak..”

Pak Bakar ternyata kenal dekat. Lalu dia bercerita tentang sosok gigih seorang guru yang bernama Moedirsan.

alm. Bakar Effendi

Sekali waktu,  saya pernah menanyakan Pak Bakar bisa kuliah di Fisipol Universitas Gajah Mada UGM). Dirasa waktu itu, saat negeri belum seindah sekarang, jarang orang bisa kuliah ke tanah Jawa. 

Ternyata, Pak Bakar adalah orang awak pertama yang kuliah di sana. Kalau saya tak salah, teman satu angkatannya yang juga kuliah di UGM adalah A. Kamal, SH (alm). Dengan Pak Kamal saya juga kenal. Rumahnya di belakang RRI sering saya datangi untuk berdiskusi. 

Yang patut dicatat juga, Pak Bakar dan Pak Kamal adalah perintis berdirinya Asrama Mahasiswa Minang  di Yogyakarta. Hingga sekarang, asrama mahasiswa itu menjadi pelabuhan bagi anak-anak Sumbar yang akan memulai kuliah di Yogya.

Cerita lainnya,  Pak Bakar termasuk tokoh mahasiswa yang ikut mendirikan GMNI, Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia . Semasa kuliah pula, Pak Bakar menjadi anggota DPRD Kota Yogyakarta dari Partai PNI. Saya tidak ingat lagi bagaimana detilnya. Yang saya ingat, sepulang menamatkan kuliahnya, Pak Bakar  bercerita dia  orang yang membawa Perguruan Taman Siswa untuk berdiri  di Padang. Pak Bakar juga pernah menjadi camat di Kerinci, ketika masih bernama Provinsi Sumatera Tengah dan Kerinci masuk wilayah Kabupaten PSK, Pesisir Selatan Kerinci.

Dari riwayat kepegawaiannya,  Pak Bakar pernah menjabat Sekda Pasaman, Asisten 1 Pemerintahan Pemprov Sumbar, Wakil Ketua Bappeda Sumbar, Mangala BP7, Staf Ahli Gubernur Zainal Bakar dan beberapa jabatan lainnya.

Bercerita dengan Pak Bakar, tak cukup waktu. Sejak pendengarannya terganggu, saya lebih banyak menuliskan kalimat untuk direspon. Saya tulis pada secarik kertas notes. Lalu menunggu komentar Pak Bakar.

Pernah, setelah membaca dan melihat foto seorang kepala daerah memanggul karung beras di pundaknya, Pak Bakar tersenyum dan meminta reaksi saya atas foto itu.

Saya senyum saja,  tidak mengomentari.

Lalu Pak Bakar bersuara, “Kepala daerah kini, banyak yang tidak mengerjakan pekerjaannya sebagai kepala daerah,”  kata Pak Bakar dalam bahasa Minang. Memanggul beras, masuk  selokan,  dimata Pak Bakar itu hanya pencitraan.

Sejak itu, banyaknya kepala daerah yang tidak mengerjakan pekerjaannya, seperti diungkapkan Pak Bakar, menjadi pameo. 

Soal aliran politiknya yang nasionalis, ternyata terpengaruh semasa kuliah di Yogyakarta. Boleh disebut Pak Bakar adalah marhaen sejati. Pak Bakar pula yang merintis berdirinya GMNI

Pak Bakar menyebut kenal dengan Presiden Soekarno. Ketiga putri Bung Karno,  Megawati, Rachmawati dan Sukmawati hormat dengan Pak Bakar. Itu sebabnya, ketika reformasi dan partai baru bertumbuhan, putri Bung Karno , Sukmawati meminta dengan segala hormat Pak Bakar untuk memimpin PNI Marhaen di Sumatera Barat.

Sebagai seorang Soekarnois, di rumah kediaman di Siteba, foto  Bung Karno  sedang menunjuk sesuatu dalam ukuran besar terpajang di dinding ruang tamu.


Ketika pegawai masih dibolehkan berpartai dan rata-rata banyak bersandar ke Golkar, Pak Bakar tetap konsisten dengan sikapnya, menjadi seorang marhaen.  Dampaknya, jabatan di kepegawaian pun tak seperti rekannya yang lain. Pak Bakar tidak mempermasalahkan tidak berjabatan. Karena tidak ikut ke Golkar. Semasa berjabatan, tidak diberi mobil dinas pun, tidak masalah bagi Pak Bakar. Dia tak malu naik angkot. 

Menjelang usianya 95 tahun, saya pernah menawarkan untuk membuat autobiografi. Pak Bakar menolaknya.

“Untuk apo tu…”

“Untuk dicaritokan ka urang nan iduik..,” jawab saya.

Pak Bakar tersenyum dan kesannya tak mau.

“Umua apak dek panjang…”

“Tuhan sayang ka ambo. Malaikat manjago ambo di siko,” balas Pak Bakar sembari mengibaskan tangan ke sisi kiri dan kanan.

Hari Senin 1 Maret 2021, saya masuk ke ruangan Pak Bakar. Dia sedang membaca buku proposal pemekaran Kabupaten Pasaman Barat, yang mana Pak Bakar adalah seorang inisiatornya. 

“Kan lah salasai…” ujar saya sembari menunjuk buku itu.

“Kini banyak nan ndak salasai..,” Jawab Pak Bakar.


Seperti biasa. Saya kembali berdiskusi. Saya tulis beberapa topik di kertas, lalu saya tunggu komentar Pak Bakar.

Ternyata, itulah hari terakhir saya bercerita dengan Pak Bakar. 

Kamis 25 Maret 2021, saya hanya melintas di depan pintu kerja Pak Bakar. Karena ada urusan mendesak, saya menyambangi sembari memberi bahasa isyarat, menaruh telapak tangan kanan diujung ujung jari tangan kiri.  

Sabtu malam 26 Maret 2021, setelah shalat Magrib, sekitar jam 19.30, Pak Bakar pergi untuk selamanya, dalam usia 97 tahun. Meninggalkan seorang istri, 10 orang anak yang kesemuanya jadi orang hebat, 24 orang cucu dan 29 orang cicit.  Dua istri sebelumnya telah meninggal dunia.

Upacara pelepasan di kediaman

Hari Minggu 27 Maret 2021, ratusan orang menyalatkan Pak Bakar di Masjid Al Barkah Jati Gaung. Ratusan pelayat  juga  ikut mengantar ke pemakaman di TPU Tunggul Hitam. Pak Bakar dimakamkan di atas pusara istri pertamanya.

Selamat jalan Pak Bakar. Selamat menemui sang khalik. Saya memohon ampun kepada Allah apabila semasa kita berkomunikasi, ada sikap yang tak pantas di hati Pak Bakar.

Semoga Pak Bakar ditempatkan Allah di surgaNya.

Alfatihah…!




Tag Terpopuler

×
Berita Terbaru Update