KEMENTERIAN Dalam Negeri (Kemendagri) saat ini tengah dalam sorotan karena kebijakannya yang seperti membangunkan singa tidur dan bisa membangkitkan luka lama masyarakat Aceh.
Empat pulau—Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang (Besar), dan Pulau Mangkir Ketek (Kecil)—yang dari segi kesejarahan, administrasi pemerintahan, dan budaya, masuk wilayah Aceh Singkil, ditetapkan menjadi wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
Penetapan ini berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tanggal 25 April 2025.
Saat kondisi Aceh sedang adem-ayem, pemerintah justru memancing kekeruhan. Sejumlah tokoh bangsa ikut memberikan pernyataan yang mengkritisi kebijakan Kemendagri yang tidak tepat yang menimbulkan kegaduhan di Aceh.
Bukan kali ini saja Kemendagri membuat kegaduhan. Menteri Dalam Negeri era Gamawan Fauzi juga mengeluarkan kebijakan kontroversial.
Pulau Berhala ditetapkan menjadi wilayah Kabupaten Tanjungjabung Timur, Provinsi Jambi, melalui Permendagri No 44/2011. Langkah ini ditentang Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Sengketa diselesaikan secara hukum. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan uji materi Permendagri No 44/2011 dalam putusan No 49 P/HUM/2011 tertanggal 9 Februari 2012.
Ada kesan Kemendagri sengaja membuat kegaduhan dan memancing agar permasalahan diselesaikan secara hukum. Hal ini juga terlihat dari pernyataan para pejabat Kemendagri agar pihak-pihak yang keberatan menempuh jalur hukum. Pertanyaannya, apakah semua permasalahan sengketa batas wilayah, termasuk sengketa kepemilikan pulau, harus diselesaikan melalui pengadilan?
Pendekatan sejarah
Luas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mencapai 8.300.000 kilometer persegi, dengan luas perairan 6.400.000 kilometer persegi, serta memiliki 17.024 pulau yang telah terverifikasi pada tahun 2022.
Indonesia memiliki banyak pulau kecil yang posisinya tersebar, baik di dalam wilayah negara Indonesia maupun di wilayah perbatasan antarnegara. Hal ini mengakibatkan ada potensi untuk terjadinya konflik antara Indonesia dan negara-negara yang berbatasan ataupun antarprovinsi/kabupaten/kota di dalam negara Indonesia (Wijoyo dkk, 2022).
Banyak faktor yang memengaruhi sengketa batas wilayah. Menurut, Wijoyo (2022), sengketa kepemilikan pulau, seperti terjadi pada empat pulau, antara Aceh dan Sumatera Utara, dipicu berbagai faktor, yakni faktor yuridis, ekonomi, historis, sosial, pelayanan masyarakat, dan geografis.
Aturan hukum yang dibuat pemerintah menjadi biang sengketa. Sebagai contoh, kedua undang-undang pembentukan Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah tak menggambarkan posisi keempat pulau sehingga terjadi ketidakjelasan posisi wilayah administrasi keempat pulau itu.
Persoalan batas wilayah bukan semata perkara teknis geografis, melainkan juga politis dan historis. Sayangnya, dalam praktik penyelesaian sengketa, pendekatan historis sering kali diabaikan. Pemerintah daerah cenderung menekankan faktor kedekatan geografis dan kepentingan ekonomi atau politik.
Padahal, pendekatan semacam ini rentan melahirkan ketegangan sosial, konflik administratif, bahkan krisis kepercayaan publik terhadap negara. Dalam konteks inilah, sejarah perlu ditempatkan sebagai sumber rujukan utama yang bersifat obyektif dan legalistik.
Sejarah mencatat bahwa pembentukan wilayah di Indonesia tidak terlepas dari warisan kerajaan-kerajaan lokal, administrasi kolonial Belanda, hingga pembagian administratif pada masa kemerdekaan. Setiap fase meninggalkan dokumentasi resmi, seperti peta, keputusan residen sampai ke tingkat kontroler, yang dapat dijadikan dasar kuat dalam menilai status suatu wilayah.
Kasus Pulau Berhala merupakan contoh penting. Pulau kecil yang terletak di Selat Berhala ini pernah disengketakan oleh Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Jambi. Namun, jika merujuk pada Regeeringsalmanak van Nederlandsch-Indie (1931), Pulau Berhala sejak masa kolonial berada di bawah administrasi Keresidenan Riau.
Pascakemerdekaan, pulau ini juga tercatat dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Riau. Inilah faktor penting yang menjadi dasar menangnya Kepri dalam sengketa pulau ini melawan Jambi. Hal yang sama terjadi dalam kasus Pulau Pekajang yang masuk dalam wilayah Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri, dan pernah diklaim Bangka Belitung (Babel).
Secara geografis, pulau itu lebih dekat dengan Kabupaten Bangka, Provinsi Babel. Namun, faktor kesejarahan sejak zaman Kesultanan Riau Lingga dan masa kolonial Belanda menunjukkan Pekajang masuk dalam wilayah Lingga.
Kita harus menyadari bahwa sejarah bukan sekadar kenangan masa lalu. Ia instrumen legal dan moral dalam menentukan identitas dan kedaulatan wilayah. Mengabaikan sejarah berarti membuka ruang bagi klaim sepihak yang lemah secara hukum, tapi kuat secara politik.
Dokumen sejarah seharusnya menjadi landasan utama dalam penyelesaian sengketa batas wilayah. Dokumen sejarah ini bisa berupa arsip peta kolonial, almanak administrasi, keputusan gubernemen Hindia Belanda, hingga dokumen pascakemerdekaan.
Sengketa wilayah bukan sekadar urusan batas peta, titik koordinat, dan penampakan lain yang bisa diukur. Untuk validasi kepemilikan wilayah, pendekatan sejarah masih jarang digunakan secara sistematis oleh pemerintah. Bahkan, tidak sedikit yang mengabaikan keberadaan dokumen-dokumen tersebut karena dianggap tak relevan atau sudah usang.
Padahal, Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya mengakui nilai pembuktian dari dokumen historis sebagai acuan sah dalam menentukan batas wilayah.
Penelusuran arsip
Peta wilayah Indonesia tidak pernah statis. Sejak awal kemerdekaan, kita telah mengalami berbagai pemekaran provinsi dan kabupaten/kota. Namun, perubahan administratif tidak boleh mengabaikan hakikat sejarah yang membentuk wilayah tersebut.
Maka, dalam konteks penyelesaian sengketa batas, sudah saatnya kita menempatkan sejarah sebagai fondasi utama. Ini bukan semata-mata demi akurasi administratif, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap jejak masa lalu yang membentuk bangsa ini
Dalam menyelesaikan sengketa wilayah, Kemendagri idealnya tidak hanya berpedoman pada urusan hukum, kondisi teknis wilayah, dan geografis. Kemendagri juga perlu menelusuri arsip ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), lembaga riset, dan lembaga lain untuk memperoleh data historis yang valid. Hal ini akan membantu proses mediasi dan pengambilan keputusan yang adil.
Sejarah bukan milik masa lampau, tetapi alat untuk mengarahkan masa depan. Jika setiap klaim wilayah dibangun di atas ingatan kolektif yang sahih, konflik perebutan wilayah bisa diminimalkan, dan keadilan wilayah bisa ditegakkan.-