Darul Siska (dok)
padanginfo.com- PADANG- Stunting (buruk gizi ) merupakan ancaman utama terhadap kualitas manusia Indonesia. Selain itu, juga jadi ancaman terhadap kemampuan daya saing bangsa. Hal ini dikarenakan anak stunted, bukan hanya terganggu pertumbuhan fisiknya (bertubuh pendek/kerdil), melainkan juga terganggu perkembangan otaknya. Ini tentu akan sangat mempengaruhi kemampuan dan prestasi di sekolah, produktivitas dan kreativitas di usia-usia produktif nantinya.
“Sumber daya alam (SDA) akan terus menyusut bahkan bisa habis. Sementara, sumber daya manusia (SDM) masih akan terus bertambah. Jika SDM bangsa ini terus di bawah bayang-bayang ancaman stunting tanpa ada upaya pencegahan, ini berbahaya bagi daya saing bangsa ini ke depan,” ujar Darul Siska ketika bersilaturahmi dengan Jaringan Media Siber INdonesia (JMSI) Sumbar, di Padang, Rabu (30/3/2022)
WHO telah menetapkan rata-rata stunting itu berada di angka 20 persen. Sementara, rata-rata stunting di Indonesia sebesar 24 persen. Sedangkan Sumatera Barat, angka stuntingnya hanya sedikit di bawah rata-rata nasional yakni 23,3 persen.
“Secara nasional, pemerintah telah mengalokasikan anggaran mencapai angka Rp25 triliun untuk tangani stunting dengan leading sector BKKBN,” sebut anggota Komisi IX DPR-RI itu
“Anggaran yang besar ini, harus maksimal dalam menurunkan kasus stunting. Paling tidak, menyadarkan masyarakat untuk peduli terhadap stunting serta tahu cara mengatasinya jika mengalami masalah tersebut pada anggota keluarganya,” tambah politisi senior Partai Golkar itu.
Sumatera Barat sendiri yang memiliki angka stunting signifikan yakni Pesisir Selatan, Solok Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sijunjung dan Pasaman Barat.
“Kita tak bisa selamanya mengandalkan kekayaan alam untuk modal pembangunan. Karena, SDA ini akan habis. Contohnya, dulu kita adalah pengekspor minyak, kini sudah jadi pengimpor. Beras dan garam juga begitu,” ungkap Darul memberi ilustrasi.
Pentingnya SDM unggul dan berkualitas, setidaknya tergambar dari potensi kelapa sawit dengan 37 produk turunan yang bisa dihasilkannya.
“Kita baru bisa mengolah Kelapa Sawit jadi minyak goreng. Baru-baru ini jadi bahan bakar bio diesel. Masih ada 35 produk turunan lainnya yang bisa kita hasilkan. Untuk bisa menghasilkan produk baru itu, tentunya diperlukan SDM yang unggul,” ungkap Darul.
“Jika anak-anak kita yang akan jadi generasi penerus bangsa ternyata di bawah bayang-bayang stunting, tentu mereka tak mampu mengolah produk turunan minyak sawit itu nantinya,” tambah Darul.
Darul Siska mengajak semua elemen masyarakat terutama pengelola media yang tergabung dalam Pengda JMSI Sumatera Barat, berkolaborasi untuk membangun kesadaran seluruh elemen masyarakat, akan ancaman stunting ini.
“Kondisi saat ini, di tingkat Asia, Indonesia terburuk kedua setelah Timor Leste untuk kasus stunting,” ungkap dia.
“Di Indonesia sendiri, provinsi terendah angka stunting yakni Provinsi Bali, 10 persen. Karena stunting merupakan masalah multi sektoral, diperlukan kolaborasi kita semua untuk mengatasinya,” tambah Darul. (*/ak)