padanginfo.com-JAKARTA- Dua organisasi kewartawanan, PWI dan AJI menyatakan prihatin atas tindakan Biro Pers Istana yang menarik kartu Id Card Wartawan CNN Indonesia Diana Valensia.
Ketua Umum PWI Pusat, Akhmad Munir, menegaskan bahwa tindakan tersebut berpotensi menghambat kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat konstitusi serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Menurut Munir, pencabutan kartu liputan wartawan CNN Indonesia dengan alasan pertanyaan di luar agenda Presiden tidak dapat dibenarkan karena menghalangi tugas jurnalistik serta membatasi hak publik untuk memperoleh informasi.
Pasal 28F UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Sedangkan Pasal 4 UU Pers menegaskan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, tanpa penyensoran atau pelarangan penyiaran,” ujar Munir dalam keterangan resmi, Minggu (28/9/2025).
PWI juga mengingatkan bahwa Pasal 18 ayat (1) UU Pers menyebutkan setiap pihak yang dengan sengaja menghalangi atau menghambat pelaksanaan kemerdekaan pers dapat dikenai pidana penjara hingga dua tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
Munir mendorong Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden untuk segera memberikan klarifikasi resmi serta membuka ruang dialog dengan insan pers.
“Menjaga kemerdekaan pers berarti menjaga demokrasi. Oleh karena itu, setiap bentuk pembatasan yang bertentangan dengan konstitusi dan UU Pers harus dihentikan,” tegas Munir.
Sikap yang sama juga disampaikan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI). Melalui Siaran Pers yang ditandatangani Ketua Umum AJI Nany Afrida dan Ketua Bidang Advokasi Erick Tanjung, AJI mengecam tindakan tersebut sebagai pengekangan pers.
"Penyensoran sekaligus pencabutan kartu identitas liputan Istana ini adalah bentuk rusaknya demokrasi Indonesia," tulisnya.
AJI Indonesia melihat, ini merupakan upaya pembungkaman pers atau jurnalis yang kritis. Akibat represi ini, Diana Valencia tidak bisa lagi mengakses liputan di Istana karena kartu identitas liputannya dicabut sewenang-wenang," tulis Siaran Pers.
Pemerintah harus tahu, jurnalis bekerja untuk publik, bukan untuk melayani kemauan dari Presiden Prabowo apalagi Biro Pers Istana.
Pembatasan kerja-kerja jurnalis terkait permasalahan MBG ini bukan kali pertama terjadi. Yang dilakukan Biro Pers Istana ini menjad kasus yang kesekian kalinya, perangkat negara melakukan penghalang-halangan dan kekerasan terhadap jurnalis ketika meliput permasalahan MBG.
AJI mngingatkan kembali kepada pemerintah agar tidak sewenang-wenang mengedalikan, mengontrol, membatasi sampai melarang jurnalis menjalankan tugasnya sesuai UU Nomor 40 Tahun 1999 Tetang Pers. Gunakan hak jawab jika merasa suatu pemberitaan dianggap melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. (rel/in).