Notification

×

Indeks Berita

Platform, Kolaborasi, dan Era Baru Berkoperasi

Kamis, 26 April 2018 | April 26, 2018 WIB Last Updated 2018-04-26T02:11:18Z
MARI bayangkanlah sebuah platform marketplace yang berisi aneka koperasi. Ketika hendak mendaftar anggota, Anda tinggal pilih koperasi mana yang terdekat dari rumah. Anda juga dapat memilihnya berdasar kesesuaian layanan atau jenisnya. Hal itu akan menjadi nyata dengan platform yang tengah dikembangkan para pegiat IT koperasi yang lakukan sarasehan pada 19-21 April di Medan tempo lalu.

Visinya adalah mengonsolidasi puspa ragam koperasi dalam satu platform atau aplikasi. Itu seperti gerbang dimana koperasi-koperasi terhimpun dan terhubung satu sama lain.

Dengan cara begitu, masyarakat dapat menikmati layanan koperasi yang paling sesuai dengan dirinya. Yang bersangkutan juga bisa menjadi anggota di beberapa koperasi sekaligus.

Ya, seperti saya atau Anda memiliki beberapa kartu ATM bank atau kartu member lainnya.

Lantas apa yang harus kita siapkan agar hal itu menjadi real, workable, dan usefull?

Platform digital

Agenda koperasi go online mulai terdengar di berbagai kota. Merespons literasi digital yang terus meningkat, sejak lima tahun belakangan koperasi mulai membangun layanan online.

Data menyebut per Januari 2018 ada 132 juta penduduk Indonesia yang mengakses internet. Itu sama dengan separoh jumlah penduduk negeri ini. Dari angka itu, 120 juta aktif bermedia sosial dengan ponsel pintarnya.

Tren itu adalah salah satu sebabnya. Tren itu selaras dengan ekosistem digital di Indonesia yang makin baik. Sebutlah jaringan internet mulai tersebar di pelosok-pelosok desa.

Memang masih ada beberapa yang masih blank spot, tapi tidak banyak. Harga ponsel pintar makin variatif dan terjangkau semua kalangan. Tak luput juga, tarif data makin murah dari aneka provider.

Infrastruktur itu datang pada waktu yang tepat saat generasi milenial tumbuh. Sekitar 35 persen penduduk Indonesia adalah anak muda, rentang usia 15-35 tahun. Itu sama dengan 93 juta jiwa jumlahnya. Mereka dikenal sebagai generasi yang gadget minded.

Di sisi lain, kelas menengah kita terus tumbuh, 74 juta jiwa pada 2012, naik menjadi 66,3 persen atau sebanyak 173 juta jiwa, berdasar data Susenas 2016 yang diolah kembali oleh Alvara Research Center.

Tak ayal dengan konteks demografi yang begitu menggembirakan, McKinsey Global Institute pada 2016 meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 10 persen pada 2025.

Salah satu sebabnya yakni perkembangan ekonomi digital yang pesat. Sampai-sampai dalam laporannya itu, Unlocking Indonesia's Digital Opportunity, McKinsey menyebut, "Indonesia is a mobile-first nation, approximately 75 percent of the online purchases are made via mobile devices".

Ponsel pintar, platform dan ekonomi digital nyata-nyata telah hidup dan menghidupi keseharian masyarakat kita. Dalam arena itu, tentu saja koperasi harus masuk dengan aneka rupa layanan digital. Bila tidak, koperasi akan merugi dan ditinggal anggotanya.

Melampaui kerja sama

Teknologi akan bekerja efektif pada budaya kerja yang pas. Platform marketplace koperasi juga demikian. Yang dibutuhkan bukan sekedar kerjasama, namun lebih daripada itu, yakni kolaborasi.

Istilah kerja sama (cooperation) sendiri sering dipertukarkan dengan kolaborasi (collaboration). Meskipun sebenarnya keduanya memiliki makna yang berbeda.

Dalam kerja sama, satu dengan yang lain mengandaikan "memberi untuk menerima". Sedangkan dalam budaya kolaborasi "memberi" lebih didahulukan daripada "menerima". Kolaborasi hanya mungkin terjadi bila ada pertukaran (sharing) nilai, gagasan, tujuan dan seterusnya.

Sedangkan dalam kerja sama, klausul-klausul yang mengikat lebih didahulukan. Kolaborasi lebih berdimensi jangka panjang, sedangkan kerja sama cenderung taktis dan jangka pendek (Schottle, 2014).

Menyongsong platform baru itu, koperasi perlu menggeser paradigma dari kerjasama ke arah kolaborasi. Pasalnya marketplace itu membutuhkan konsolidasi seluruh pasar koperasi. Dalam paradigma lampau, pasar koperasi sebatas anggotanya semata.

Dalam paradigma baru ini, kapling itu harus dilebur untuk hasilkan daya ungkit bersama.

Yakni anggota Koperasi A dapat dilayani di Koperasi B; Anggota Koperasi C belanja di anggota Koperasi A; Dan seterusnya. Dan semua itu terjadi berbasis transaksi non-tunai. Garis demarkasi yang ada juga perlu dilampaui.

Dalam budaya lama, Koperasi Primer tunduk pada Koperasi Sekunder/ Induknya. Dalam budaya baru, Koperasi Primer satu dengan yang lain terhubung dalam sebuah jaringan komunitas.

Perbedaan jenis juga harus dilampaui. Koperasi Simpan Pinjam/ Kredit terhubung langsung dengan koperasi konsumen; koperasi produsen terhubung dengan koperasi jasa; dan seterusnya.

Paradigma kolaborasi ini merupakan anak kandung model kerja jaringan (network) daripada hirarkis. Kunci keberhasilannya terletak pada berbagi informasi, nilai, keyakinan, kata Schottle (2014) dalam risetnya.

Pusat gravitasinya adalah orang yang terlibat alih-alih sumberdaya. Sehingga kolaborasi hanya mungkin bila satu dengan yang lain memiliki mutual understanding atau kesalingpemahaman.

Tanpa saling pemahaman hal itu akan menjadi sulit. Bayangkan saja, Koperasi A yang bergerak di simpan pinjam mendorong anggotanya belanja di koperasi lain, Koperasi B, yang bergerak di ritel. Koperasi C yang bergerak di transportasi mendorong anggotanya menabung di Koperasi A.

Ilustrasi itu akan menjadi nyata dengan marketplace koperasi dimana semua koperasi telah terhubung. Alih-alih berkompetisi, mereka justru akan ko-promosi satu sama lain.

Era baru

Dunia yang berubah dan penuh dengan disrupsi ini harus direspon dengan berbeda. Sepuluh tahun lalu kita tak pernah terbayang profesi tukang ojek semenarik hari ini. Juga tak pernah terbayang bila istilah driver memiliki konotasi yang positif daripada sopir zaman dulu.

Aplikasi sharing economy telah merubahnya. GoJek, Grab, Uber lahir dan hal-hal yang tak terbayangkan itu menjadi nyata di depan mata.

Dulu mencari mencari informasi hotel yang sesuai dengan budget harus kita lakukan dengan telpon sana sini. Dunia berubah dan menawarkan website untuk setiap hotel. Lalu semua itu didisrupsi dengan adanya Trivago, Traveloka dan platform sejenisnya.

Dengan langgam yang sama mengapa tidak bila kita permudah masyarakat mengakses layanan berbagai jenis koperasi. Di pulau Bali sana salah satu koperasi mulai menjajagi modus itu.

KSP TEB Artha Mulia yang berdiri pada 2014 lalu telah terhubung (interconnected) dengan sebelas koperasi lain di sana.

Hasilnya sangat menggembirakan. Statistik anggota dan asetnya meningkat tajam. Dengan aplikasi berbasis Android anggota dilayani. Transaksi antar anggota, ketika belanja di toko (merchant), juga menggunakan aplikasi yang sama.

Mereka menyadari penuh tanda-tanda zaman yang berubah, sampai-sampai motonya berbunyi, A Millennial Coop. KSP TEB sadar betul bahwa masa depan koperasi itu berbasis teknologi digital.

Dalam usianya yang masih belia investasi utamanya terletak di infrastruktur teknologi berbasis aplikasi Android. Dan itu nampaknya tak akan mengecewakan bila kita simak data WeAreSocial Global Overview, 2017.

Sebutlah, 41 persen masyarakat Indonesia berbelanja online. Lalu 33 persen di antaranya menggunakan mobile-commerce. Yang menarik tahun 2018 ini diprediksi akan tumbuh 18,8 persen. Data itu nampaknya mengonfirmasi ramalan McKinsey di atas.

KSP TEB boleh jadi bukan koperasi pertama dan satu-satunya di Indonesia yang concern pada perkembangan teknologi. Dan itulah yang kita harapkan.

Sarasehan Teknologi Informasi untuk Gerakan Koperasi Indonesia yang digagas oleh Komunitas SiCUNDO - INKUR di Medan tempo lalu adalah upaya untuk mengembangkannya ke daerah lain.

Bersama para pegiat Linux kaliber nasional, kerja kolaboratif itu dimulai. MyCOOP, sebuah marketplace koperasi akan menandai sebuah era baru berkoperasi di Tanah Air

Firdaus Putra,  
Direktur Kopkun Institute dan Peneliti Lembaga Studi dan Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I). Tergabung dalam jejaring Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan (SI Perubahan)

sumber: kompas.com

Tag Terpopuler

×
Berita Terbaru Update