Oleh: Adrian Toaik
padanginfo.com-Era digitalisasi melahirkan netizen dan buzzer, informasi cepat berseliweran di akun media sosial publik, benar atau tidak informasi itu masih perlu cek and ricek lagi.
Penikmat media sosial kerap terombang-ambing di lautan informasi tersebut, penyajiannya pun sulit membendakan apakah informasi itu sahih dan akurat.
Penyedia informasi yang kredibel itu adalah pers atau wartawan, kerja dan fungsinya digariskan oleh UU 40 tahun 1999 tentang pers.
Pers kekinian sangat diharapkan untuk menghempang salah informasi (misinformasi) dan informasi tidak benar dan dipelesetan sehingga mengandung hoaks dan SARA dan berita bohong (disinformasi)
Sangat banyak literasi terkait kerja jurnalis, mulai kode etik, pedoman wartawan siber, bahkan hak jawab dan hak tolak diatur oleh aturan positif yang tercatat di lembaran negara Republik Indobesia.
Bahkan wartawan senior Khairul Jasmi menegaskan bahwa kepercayaan dibangun dengan akurasi fakta dan profesionalisme kerja.
Pers di era media sosial ini menurut Khairul Jasmi menekankan jurnalis bekerja, jika menangkap informasi yang salah, maka pers bersalah dua kali. Pers harus mendasari kerja dengan tips tidak tahu cari tahu baru memberitahu. Setiap informasi didapat saring dulu baru disebar.
"Ingat akurasi adalah jantung informasi dan jantung bisnis pers adalah kepercayaan,"tekan Khairul Jasmi, Kamis 6 November 2025 di Padang.
Sementara pakar jurnasllis dunia memberikan benang merah bahwa Kebebasan pers tidak berarti apa-apa jika tidak digunakan untuk mengatakan kebenaran.
Walter Lippmann;
"Kita hidup di zaman di mana kabar menyebar lebih cepat dari kebenaran. Dalam hitungan detik, satu unggahan di media sosial bisa menembus jutaan mata, tanpa sempat diverifikasi. Dunia digital yang awalnya dianggap membawa kebebasan justru menciptakan paradoks: kebebasan tanpa tanggung jawab, kecepatan tanpa akurasi.
Fenomena ini melahirkan apa yang disebut disfungsi informasi," ujarnya.
Jika, ketika arus informasi tidak lagi menyehatkan publik, tapi malah membingungkan. Informasi kehilangan fungsi dasarnya sebagai penerang, dan berubah menjadi kabut yang menutupi kenyataan.
Sehingga wajar memamah habis informasi di media sosial tanpa mekanisme cek and ricek bisa berakibat fatal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh terbaru kerusuhan 25-28 Agustus di Jakarta dan banyak daerah di Indoensia.
Bagaimana buzzer memproduksi opini dengan berbagai metode disebar di banyak platform media sosial, bentrok, korban materil maupun jiwa pun terjadi.
Sekaitan fenomena kekinian itu, Jürgen Habermas seorang filsuf komunikasi mengingatkan, ruang publik yang sehat hanya bisa tumbuh jika masyarakat memiliki akses pada informasi yang rasional dan jujur.
"Nah misinformasi dan disinformasi tersaji dengan cara mempelintir maupun memenggal narasi media pers sesuai target yang ditujunya, seketika itu ruang publik yaitu tempat warga berpikir dan berdialog, pelan tapi pasti jadi rusak,"ungkap Henermas.
Seharusnya dan sangat berperan untuk sikat misinformasi dan disinformasi, serta benteng terakhir kebenaran di tengah kekacauan informasi itu adalah wartawan.
Pada situasi itu, peran pers menjadi sangat penting. Bahkan Walter Lippmann menyebut pers adalah jendela tempat warga melihat dunia di luar pengalaman langsungnya.
" Jika jendela itu buram, masyarakat kehilangan arah. Pers sejati tidak hanya melaporkan peristiwa, tapi juga mengembalikan fungsi informasi sebagai alat berpikir. Wartawan memverifikasi, memberi konteks, dan menata kembali logika publik di tengah banjir kabar hoaks, informasi SARA dan informasi bohong,"ujar nya diberbagai literasi didapat penulis.
Peran pers tersampingkan ulah konten yang digoda dari logika klik dan viralitas. Eee, media pers pun ikut tergoda mengejar kecepatan dan sensasi, bukan lagi kebenaran.
Padahal dua begawan ilmu, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menyampaikan saripati bagi wartawan, kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran, dan kesetiaan pertamanya adalah kepada warga.
Ketika prinsip ini ditinggalkan, menurut Bill Kovac, seketika itu juga pers berhenti menjadi mercusuar di tengah lautan gelap disinformasi di media sosial dan justru menambah hingar bingar misinformasi dan disinformasi di tengah publik.
Kunci lain pers menghempang viral disinformasi adalah etika.
Etika adalah kompas melawan disfungsi informasi tidak bisa hanya mengandalkan teknologi atau undang-undang. Kuncinya tetap pada etika jurnalistik.
Begawan pers Indonesia Goenawan Mohamad, dalam tulisannya mengatakan jurnalisme adalah soal nurani, bukan hanya apa yang ditulis, tetapi bagaimana menuliskannya dengan tanggung jawab.
"Etika menjadi pelita cahaya di ujung kegelapan menuntun wartawan agar tidak tergoda membuat sensasi. Karena berita tidak sekadar konten, melainkan amanah untuk mencerahkan. Pers beretika tahu kapan harus bicara dan kapan harus berhenti, tahu kapan harus cepat dan kapan harus hati-hati,"beber Goenawan Muohamad.
Dari perang atas mis dan dis informasi itu, tidak bisa pers yang angkat senjata sendiri, melawan disfungsi informasi tidak bisa hanya dibebankan kepada pers. Masyarakat juga perlu berperan.
Kini, banyak orang lebih percaya pada pesan dari grup WhatsApp ketimbang berita resmi dari akun resmi lembaga. Ini selain menunjukkan rendahnya literasi media di tengah masyarakat.
Padahal, seperti kata pepatah, kebodohan informasi lebih berbahaya dari kebodohan pengetahuan.
Publik perlu belajar untuk kritis terhadap sumber informasi: siapa yang berbicara, dari mana datanya, dan apa konteksnya. Pers bisa mengambil bagian dalam gerakan literasi ini lewat kanal fact-checking, kolaborasi dengan lembaga pemeriksa fakta, dan edukasi publik di media sosial.
Langkah-langkah kecil seperti ini bisa mengembalikan kepercayaan publik kepada media yang kredibel.
Dari dilema dan harapan, siapa saja tidak bisa menutup mata, industri media juga sedang menghadapi tekanan ekonomi. Banyak redaksi dipaksa bersaing dengan algoritma media sosial dan penurunan iklan. Di sisi lain, ada tekanan politik yang kadang menggoda media untuk berpihak pada kekuasaan.
Namun idealisme sejati justru diuji di tengah tekanan. Bill Kovach mengingatkan, jurnalisme bukan soal menjadi populer, tetapi soal menjadi relevan bagi kebenaran.
Selama masih ada media yang menolak tunduk pada tekanan dan memilih berpihak pada kebenaran, harapan itu tetap ada. Selain itu peran lembaga resmi juga sangat perlu bersinergistas dengan wartawan, jangan informasi salah dikonsumsi publik dibiarkan menjadi kuat sekuat tembok cina, harus segera melakukan counter attack terhadap mis dan dis informasi itu.
Berita atau apa pun produk pers harus mampu menjaga akal sehat publik. Pasalnya disfungsi informasi itu tak masalah media saja, tapi juga masalah bangsa.
Jadi kala publik disesatkan oleh kabar palsu, keputusan sosial dan politik bisa salah arah. Demokrasi pun kehilangan fondasi rasionalnya. Di titik inilah, semestinya pers menjadi penjaga akal sehat publik. Pers membuka ruang dialog, menghadirkan suara yang beragam, dan mengajarkan masyarakat untuk tidak terjebak pada kebisingan.
Tulisan Goenawan Mohamad, menyatakan tugas wartawan bukan menjawab semua pertanyaan, melainkan menjaga agar pertanyaan penting tidak hilang.
Sehingga itu lawan diinformasi, pers menjaga agar pertanyaan-pertanyaan itu tetap hidup, agar bangsa tidak berhenti berpikir.
Penutup
UU 14 Tahun 2008 tentang kebebasan berpendapat lalu UU Pers tahun 1999 juga mantasbihkan kebebasa pers, aktualnya itu bukanlah hak istimewa wartawan, melainkan hak warga negara untuk tahu yang benar. Dalam masyarakat yang kebanjiran informasi, jurnalis tidak lagi satu-satunya sumber berita, tapi masih bisa menjadi satu-satunya sumber kepercayaan.
Selagi pers berpegang ke etika, nurani, dan keberanian moralnya, maka pers akan tetap menjadi mercusuar di tengah kabut hitam disinformasi.
Melawan disinformasi bukan hanya perjuangan profesi, tapi panggilan sejarah, menjaga agar cahaya kebenaran tidak padam di tengah gelapnya zaman digital.
Sah, kata Goenawan Muhammad bahwa kebenaran narasi atau gambar disajikan pers mungkin berjalan tertatih, tapi ia tidak akan pernah mati. (***)
Tentang Penulis:
Adrian 'Toaik' Tuswandi, pemerhati media dan komunikasi publik. Aktif menulis opini tentang demokrasi, literasi digital, dan peran pers di era informasi. Pendiri Perhimpunan Jurnalis Keyerbukaan Informasi Publik, owner www.tribunsumbar.com, pemegang Kartu Pers Utama Dewan Pers, Dewan Pakar PWI Pusat dan Dewan Pengawas LKBN Antara.