Notification

×

Indeks Berita


Luar Biasa , 7 Warisan Budaya Takbenda (WBTb) dari Kabupaten Kepulauan Mentawai ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTbI) 2023

Kamis, 07 September 2023 | September 07, 2023 WIB Last Updated 2023-09-07T04:19:35Z

Tato Orang Mentawai. Foto AGENDA Indonesia

padanginfo.com-MENTAWAI- Tahun 2023 Sumatera Barat meraih 21 WBTb dan yang luar biasa 7 (Tujuh) Warisan Budaya Takbenda (WBTb) diraih
dari Kabupaten Kepulauan Mentawai setelah ditetapkan sebagai
Warisan Budaya Takbenda (WBTbI) tahun 2023

 Nama WBTb Domain Pengusul/Sebaran
1 Pangurei Adat Istiadat masyarakat, ritus 
dan perayaan-perayaan
Kabupaten Kepulauaan 
Mentawai
2 Panunggru Mentawai Adat Istiadat masyarakat, ritus 
dan perayaan-perayaan
Kabupaten Kepulauaan 
Mentawai
3 Pasipiat Sot Mentawai Adat Istiadat masyarakat, ritus 
dan perayaan-perayaan
Kabupaten Kepulauaan 
Mentawai
4 Opa Mentawai Kemahiran dan 
KerajinannTradisional
Kabupaten Kepulauaan 
Mentawai
5 Mone Mentawai Pengetahuan dan Kebiasaan 
Pereilaku mengenai Alam dan 
semesta
Kabupaten Kepulauaan 
Mentawai
6 Turuk Laggai Adat Istiadat masyarakat, ritus 
dan perayaan-perayaan
Kabupaten Kepulauaan 
Mentawai
7 Gajeumak Maentawai Kemahiran dan 
KerajinannTradisional
Kabupaten Kepulauaan 
Mentawai
Kepulauan Mentawai Mentawai merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sumatera Barat 
yang memiliki kebudayaan khas suku Mentawai. Selain terkenal dengan keindahan alam, 
bahari dan keanekaragaman hayati, juga memiliki keragaman budaya yang masih hidup 
dan dianut oleh masyarakat Suku Mentawai. Suku Mentawai merupakan salah satu suku 
tertua di Indonesia. Suku Mentawai adalah suku asli yang menetap di Kepulauan Mentawai, 
Pulau Siberut, Sumatera Barat. Suku Mentawai berada di pedalaman. 

Kabupaten Kepulauan Mentawai memiliki empat pulau utama, yaitu Pagai Utara, Pagai 
Selatan, Sipora, dan Siberut. Wilayah tersebut memiliki luas sekitar 4.489 Km. Dengan jumlah 
penghuni sekitar 30 ribuan jiwa. Diyakini, para nenek moyang suku Mentawai telah bermigrasi ke 
wilayah ini antara 2000-500 SM. Suku Mentawai memiliki kebudayaan yang sangat kuat yang 
hingga saat ini masih terjaga di tengah arus modernisasi. Beberapa kebudayaan Suku Mentawai 

Mentawai yang terkenal seperti Tato, Tradisi meruncingkan gigi, Sikerei, Turuk Laggai dan 
rumah adat yang dikenal dengan Uma. Kebudayaan Suku Mentawaisudah menjadi identitas 
sekaligus keunikan yang masih dilestarikan hingga saat ini. 

Tato sudah ditetapkan sebagai WBTbI tahun 2014, Sikerei (2019), Uma (2020), Kirekat (2022), 
Pasikut Abag (2022), 

Tahun ini ditetapkan 7 (tujuh) WBTb dari Kepulauan Mentawai ditetapkan 
sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) tahun 2023 sebagai berikut:

Pangurai

Pangurei
Pangurei merupakan pesta pernikahan adat secara tradisional suku Mentawai. Pesta pangurei 
dalam masyarakat suku Mentawai adalah sebuah keharusan, karena keabsahan sebuah 
perkawinan menurut adat-istiadat maryarakat suku Mentawai. Itulah sebabnya, sebelum acara 
pangurei ini dilaksanakan, pengantin perempuan tidak diperkenankan mengunjungi orang tuanya 
besarta kaum sukunya, kecuali hal yang mendadak dan tidak bisa dielakkan, seperti orang 
tuanya sakit, ada yang meninggal dalam kaum sukunya dan lain sebagainya. Disamping itu, 
sebelum pesta pangurei ini dilangsungkan, pengantin baru ini tidak akan mendapatkan bagian 
apapun dari keluarga pihak perempuan beserta kaum sukunya, misalnya; ketika musim buah￾buahan, mereka tidak akan mendapatkan jatah, begitu juga halnya dengan hasil buruan, mereka 
tidak akan mendapatkan bagian di dalamnya. 
Dalam pesta pangurei, segala sesuatu yang berhubungan dengan mas kawin (alat toga) akan 
diselesaikan sebelum acara di langsungkan. Dan keberlangsungan pesta pangurei ini, sangat 
tergantung dari kesiapan keluarga pihak perempuan besarta kaum sukunya. Pelaksanaan pesta 
pangurei, akan melibatkan kaum suku, baik dari pihak perempuan sebagai pelaksana dari 
pengurei maupun dari pihak laki-laki sebagai objek dari pengurei tersebut

Panunggru Mentawai


Panunggru Mentawai
Bicara kematian di lingkungan masyarakat Mentawai, khusunya di Pulau Siberut, 
kematian tidak serta merta putus hubungan antara yang mati dengan yang masih 
hidup. Tidak jarang yang masih hidup merasa diikuti atau dihantui oleh yang 
sudah meninggal, apalagi jika yang meninggal tersebut masih ada hubungan 
saudara atau famili. Menyikapi dan mengantisipasi ketakutan yang 
berkepanjangan tersebut, maka di kalangan masyarakat Siberut ada acara yang 
mereke sebut “punen panunggru”.
Di Mentawai, masa berkabung bagi keluarga yang ditinggal ditandai dengan 
menanggalkan dan menyimpan perhiasan manik-manik yang mereka pakai dan 
tidak mengenakan pakaian bagus. Istri yang ditinggal mati suaminya akan 
memotong lurus sedikit rambut di dahi. Anak perempuannya akan memotong
sebagian ujung rambutnya, apabila seorang anak yang meninggal, maka ibunya 
akan memotong miring sedikit rambut di dahi kirinya. Selain rambut, sampan juga 
dipotong untuk menandakan ada peristiwa kemalangan yang menimpa 
pemiliknya. 
Apabila seorang suami meninggal, istrinya memotong kepala sampan (utet abak) 
sepanjang 5 cm. Ini menandakan si istri kehilangan pemimpin dalam rumah 
tangganya. Jika istri yang meninggal, suaminya akan memotong ujung sampan 
(muri abak) yang menandakan ia kehilangan pendamping hidupnya. Jika anak 
yang meninggal, maka orang tuanya akan memotong sisi kiri bagian tengah 
sampan (tok-tok abak) yang menandakan bahwa ada yang hilang dalam hidup 
mereka. Seorang suami atau istri pasangannya yang meninggal akan berganti 
nama panggilan. Nama yang diberikan sesuai dengan kejadian tertentu pada saat 
kemalangan itu yang disebut dengan Patonojiakenen.

Pasiplat Sot Mentawai

Pasipiat Sot Mentawai
Suku Mentawai dari Kepulauan Mentawai memiliki tradisi unik, yaitu tradisi gigi 
runcing atau biasa disebut Pasipiat Sot. Diperkirakan tradisi meruncingkan gigi 
ini sudah ada berbarengan dengan eksistensi pertama kali suku tersebut 
mendiami Kepulauan Mentawai sekitar tahun 500 SM. Tradisi ini merupakan 
tradisi mengerik atau meruncingkan gigi pada wanita. Tradisi meruncingkan gigi 
biasanya dilakukan saat seorang wanita Mentawai saat memasuki umur remaja 
atau saat akan menikah. Selain sebagai simbol kecantikan, tradisi ini memiliki 
makna yang jauh lebih dalam dari sekadar kecantikan. Wanita Suku Mentawai 
memiliki kepercayaan turun temurun bahwa dengan meruncingkan gigi, tubuh 
dan jiwa mereka dapat terjaga keseimbangannya.
Pasipiat Sot merupakan tradisi mengerik atau meruncingkan gigi di Mentawai 
bagi para wanita yang bertujuan untuk membuang sifat buruk manusia. Selain 
itu, tradisi gigi runcing sebagai penanda kedewasaan seorang wanita dan 
dipercaya juga akan memberikan kebahagiaan dan kedamaian


Opa Mentawai

Opa Mentawai
Opa/O’orek merupakan tas unik warisan dari nenek moyang Mentawai yang 
berbentuk keranjang yang terbuat dari rotan dan kulit daun sagu yang ringan yang 
biasa disandang di punggung wanita saat bepergian ke kebun dan membawa hasil 
ladang dan laut.
Salah satu alat yang dipakai adalah Opa/O’orek, yang mana memakainya dengan di 
pundak di bagian punggung, jadi tidak lagi menjinjing ataupun di pundak di bahu. 
Opa/O’orek ini sangat memudahkan bagi yang memakai terutama dalam membawa 
hasil buruan, tanaman dan hasil ladang yang perjalanan yang cukup jauh dan jalan 
yang sulit, bersemak, becek, lereng, bebatuan, licin dan melalui hutan yang sangat 
menguras tenaga dan waktu yang cukup.

Mone Mentawai

Mone Mentawai
Pada orang Mentawai salah satu pranata ekonomi 
tradisional mereka berupa sistem pengetahuan 
tentang cara-cara pemenuhan kebutuhan hidup 
dengan memanfaatkan lahan yang disebut dengan 
Mone. Mone dalam bahasa Mentawai merujuk 
kepada hutan dan ladang, sedangkan mone dalam 
arti luas sebagai harta di suatu Uma.
Dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup dapat 
melakukan dengan memanfaatkan alam yang ada 
di sekitarnya yang terdapat berbagai tanaman dan 
hewan yang dapat dijadikan bahan pangan yang 
bisa digunakan untuk pemenuhan kebutuhan 
sehari-hari, untuk upacara dan kebutuhan jangka 
panjang. Hasil ladang tersebut sudah menjadi
komoditi dan menghasilkan pendapatan bagi orang 
Mentawai sehing
Pada orang Mentawai salah satu pranata ekonomi 
tradisional mereka berupa sistem pengetahuan 
tentang cara-cara pemenuhan kebutuhan hidup 
dengan memanfaatkan lahan yang disebut dengan 
Mone. Mone dalam bahasa Mentawai merujuk 
kepada hutan dan ladang, sedangkan mone dalam 
arti luas sebagai harta di suatu Uma.
Dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup dapat 
melakukan dengan memanfaatkan alam yang ada 
di sekitarnya yang terdapat berbagai tanaman dan 
hewan yang dapat dijadikan bahan pangan yang 
bisa digunakan untuk pemenuhan kebutuhan 
sehari-hari, untuk upacara dan kebutuhan jangka 
panjang. Hasil ladang tersebut sudah menjadi
komoditi dan menghasilkan pendapatan bagi orang 
Mentawai sehingga meningkatkan sejahtera bagi mereka

Turuk Langgai

 Laggai 
Turuk laggai merupakan tarian yang menyerupai gerakan hewan atau binatang yang ada 
dihutan atau dilingkungan yang mereka tempati. Binatang yang mereka tirukan itu 
memang binatang yang benar ada di sekitarnya dan mereka melihatnya, meski 
masyarakat mentawai menjadikan binatang itu sebagai santapannya mereka dalam hal 
tertentu tapi mereka jaga pertumbuhannya. Hewan yang mereka tirukan itu elang, 
monyet, ayam hampir seluruh binatang yang ada dilingkungan mereka menirukan 
gerakannya.
Turuk Laggai merupakan tarian kampung yang mempunyai nilai seni, magik dan nilai 
mistik. Setiap acara adat dalam masyarakat Mentawai selalu menggunakan turuk laggai. 
Turuk laggai dalam masyarakat Mentawai terbagi ke dalam dua bagian, yaitu: a) turuk 
sikerei dan b. Turuk Simatak. Turuk sikerei merupakan turuk yang dibawakan oleh sikerei 
yang bersifat sakral dan mistik, yang dilakukan pada saat upacara pengobatan 
(pulaggengan) dan pesta kematian (punen kamateiat), dengan tujuan memohon restu 
dan meminta bantuan kepada roh-roh leluhur atas permasalahan yang sedang
dihadapinya yang diiringi dengan uraian dan bunyi kateubak yang bersifat sakral dan
mistik dan berfungsi untuk memanggil roh-roh leluhur dan sebagai alat komunikasi 
dengan roh tersebut atas permasalahan yang tengah d

Gajeumak

Gajeumak Mentawai
Gajeumak atau disebut juga dengan kateubak merupakan alat musik pukul tradisional 
dari Kabupaten Kepulauan Mentawai yang terbuat dari batang pohon enau, kulit 
binatang, dan rotan yang gampang dijumpai di Mentawai. Alat musik tersebut dipakai 
atau dibunyikan dengan irama gembira untuk mengiringi berbagai upacara adat dan 
kesenian tradisi seperti upacara punen di Mentawai.
Pada saat ditampilkan biasanya dipakai 3 buah gajeumak ditabuh sekaligus. Untuk 
gajeumak ukuran besar disebut ina dan ukuran sedang disebut kebbuk ditabuh dengan 
kedua belah tangan. Gajeumak dengan ukuran kecil (disebut bagi) hanya ditabuh 
dengan tangan kiri, sedangkan pada telunjuk tangan kanan diikatkan sepotong kulit kayu 
yang kaku (disebut sinnai). Untuk gajeumak ukuran besar bisa memiliki panjang 70 cm 
dan berpenampang 10 cm yang terbuat dari pohon aren atau enau. Begitu juga ukuran 
batangnya tidak sama besar sehingga menghasilkan suara yang berbeda pada setiap 
ukuran. 
Gajeumak terdiri dari beberapa bagian yaitu uman gajeumak (batang gajeumak), 
ngungun gajeumak (mulut gajeumak) dan pengikat gajeumak (apra) (Sumber Dinas Kebudayaan Sumbar)

Tag Terpopuler

×
Berita Terbaru Update