Notification

×

Iklan

Iklan

Danau Maninjau Tidak Lagi Menjadi Cermin Langit

Minggu, 04 Mei 2025 | 5/04/2025 WIB Last Updated 2025-05-04T14:22:37Z
Penulis: Ilma Wulandari, Ibrahim Akbar, Fathurrizqi, Olivia Marlius Ananta, Yurifan Emeral Imam
(Mahasiswa Prodi Komunikasi Universitas Negeri Padang)

Begitulah gambaran getir yang kini dihadapi masyarakat di tepian Danau Maninjau, Sumatera Barat. 
Danau yang dulu memantulkan biru langit dan menjadi penopang
kehidupan, kini menjelma menjadi kubangan krisis ekologis. Ironisnya, kerusakan ini tak semata lahir dari aktivitas ilegal. Justru, sebagian besar  kehancuran memiliki stempel
legalitas resmi. 

Danau Maninjau tercatat sebagai satu dari 15 danau prioritas nasional yang harus diselamatkan, sesuai amanat Perpres No. 60 Tahun 2016. Tapi alih-alih diselamatkan, danau ini kini tercemar berat, biologinya sekarat, dan siklus kehidupannya porak-poranda.

Masalah utama bersumber dari keramba jaring apung (KJA). Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Agam mencatat terdapat lebih dari 23.000 unit KJA beroperasi di danau ini. Jumlah yang jauh melampaui kapasitas ekologisnya.  Banyak dari KJA ini memiliki izin resmi, tapi merusak. Legalitas seharusnya menjadi jaminan tata kelola yang bertanggung jawab. Namun, di Danau Maninjau, izin justru menjadi alat pelindung eksploitasi. Para pemilik “sah”, memiliki kesempatan besar dalam menambah unit keramba tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Penegakan hukum nyaris nihil, bahkan setelah Kementerian LHK mengeluarkan peringatan. Dan faktanya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Danau Maninjau saja. 

Dalam laporan Pulitzer Center berjudul “Patagonian Paradise Lost?The Environmental Hazards of Farming
Fish in a Warming World” yang ditulis oleh Jessica McKenzie, budidaya ikan legal di Patagonia, Chili juga menjadi penyebab kerusakan ekologis parah, dalam bentuk limbah
pakan, antibiotik, dan kepadatan keramba memicu penyakit ikan dan menghancurkan ekosistem laut sekitar. Sama halnya dengan danau Maninjau, izin yang diberikan justru dipakai untuk memperluas usaha,  malah merusak keadaan. Ini menunjukan bahwa masalah budidaya ikan bukan hanya persoalan lokal tetapi sudah menjadi persoalan global.

Ketika Angka dan Fakta Berbicara
Pada Desember 2021, lebih dari 1.700 ton ikan mati mendadak akibat kadar oksigen yang anjlok drastis. Ini bukan peristiwa tunggal, melainkan bencana ekologis yang kini terjadi
setiap empat bulan sekali. Tubo istilah lokal untuk fenomena pembalikan lapisan air yang membawa racun dari dasar danau menjadi rutinitas yang mengancam ekosistem dan ekonomi warga.

Dampaknya tidak hanya terasa di permukaan air, tapi juga tercermin jelas dalam data produksi. Pada tahun 2023, produksi perikanan budidaya di Danau Maninjau anjlok tajam. Dari target pertumbuhan 0,83%, justru tercatat penurunan drastis sebesar -33,82%.

Penyebabnya bukan semata cuaca ekstrem yang terjadi sejak akhir 2022 dan berlanjut sepanjang 2023, tetapi juga menurunnya daya dukung danau terhadap kepadatan tebar dan tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate) ikan di keramba jaring apung (KJA). Ini memperlihatkan bahwa ekosistem danau sedang berada di titik kritis—dan dibiarkan tanpa
intervensi berarti. Kondisi ini bahkan belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. 

Pada Januari 2025, Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan Kabupaten Agam kembali mencatat lonjakan kematian ikan di keramba. Sebanyak 25 ton ikan mati pada 13 Januari di Nagari Bayua, disusul lima hari kemudian sebanyak 50 ton ikan mati di Nagari Tanjung Sani. Keduanya berada di Kecamatan Tanjung
Raya.  Dalam waktu kurang dari sepekan, total kematian ikan mencapai 75 ton—dan 50 ton di antaranya adalah ikan nila. 

Fakta ini menunjukkan bahwa masalah tubo dan penurunan daya dukung lingkungan masih terus berlangsung, menggerus harapan petani ikan yang menggantungkan hidupnya pada danau ini.

Dampak pencemaran Danau Maninjau juga didukung dengan data dari BPS dan KLHK menunjukkan bahwa kualitas air danau menurun drastis dari kategori “baik” menjadi “sangat tercemar.” 

Indeks Status Trofik tahun 2017 oleh LIPI menunjukkan perairan Danau Maninjau termasuk kategori eutrofik sedang hingga berat, yang berarti air telah tercemar berat oleh peningkatan kadar nitrogen dan fosfor akibat limbah Keramba Jaring Apung (KJA).

Penelitian Bappeda Agam pun memperkuat temuan ini. Limbah pakan ikan dari KJA tercatat
sebagai kontributor utama pencemaran fosfat dan amonia. Kadar amonia yang tinggi mengubah air danau menjadi lebih panas, menghilangkan ganggang, dan mengancam kelangsungan hidup spesies endemik seperti ikan rinuak. Perkembangan KJA yang tak
terkendali turut mempercepat kerusakan. 

Selama periode 2001 hingga 2013 saja, akumulasi limbah organik yang dihasilkan mencapai 111.899,84 ton (Junaidi et al., 2014). Selain itu, pencemaran ini juga menyebabkan hilangnya nilai ekonomi sektor pariwisata sekitar Rp14,9 miliar per tahun, serta menimbulkan bau busuk dari bangkai ikan yang mengganggu aktivitas masyarakat dan menurunkan minat wisatawan.

Resistensi Warga dan Krisis Perspektif Ekologis
Upaya edukasi telah dilakukan oleh sejumlah pihak. Di SMAN 1 Tanjung Raya, salah satu guru seperti Ibu Evariani selaku guru biologi, menggandeng para siswa untuk meneliti pencemaran di Danau Maninjau. Hasilnya mencengangkan: endapan amonia di dasar danau telah membentuk struktur seperti stalaktit dan stalagmit, menandakan akumulasi racun yang masif dan berlangsung lama.

Sementara itu, dinas dan lembaga riset mencoba mendorong warga beralih profesi menjadi petani sebagai jalan keluar dari ketergantungan terhadap keramba jaring apung. Namun usulan ini mendapat penolakan oleh sebagian besar warga yang menganggapnya tidak menguntungkan. Di sisi lain, alih fungsi lahan sawah menjadi tambak justru semakin marak
dan menjadi jalan pintas pragmatis. Akibatnya, danau tak lagi menjadi sumber air bersih, melainkan ancaman tahunan.

Kerusakan Danau Maninjau tidak semata soal teknik legalitas. Melainkan juga menjadi
simbol bagaimana kebijakan seringkali dibajak oleh kepentingan jangka pendek, mengorbankan keberlanjutan jangka panjang. Legalitas ternyata tak selalu sejalan dengan keadilan ekologis. Jika izin bisa menghalalkan eksploitasi yang merusak, maka kita patut
bertanya: untuk siapa sebenarnya legalitas itu dibuat? 

Sudah waktunya kita membangun
kebijakan yang tidak hanya berbasis angka dan data ekonomi, tetapi juga berakar pada etika lingkungan dan prinsip keadilan antargenerasi.


*Tulisan ini adalah output dari kegiatan Green Voice Matters - Op-Ed Workshop hasil kerjasama Prodi Ilmu Komunikasi UNP dan Pulitzer Center.
×
Berita Terbaru Update